Senin, 04 Juli 2011

CERITA TERJADINYA SUATU DAERAH

Terjadinya Kota Magelang (Cerita Rakyat Jawa Tengah)

Dahulu kala Kerajaan Pajang dengan rajanya bernama Sultan Hadiwijaya. Sedang Kadipaten Jipang dipimpin olah Arya Penangsang. Kedua tokoh tersebut saling berselisih. Arya Penangsang dikenal sebagai orang yang sombong, karena keampuhannya.Perselisihan kedua tokoh tersebut mengakibatkan perang sehingga banyak korban berjatuhan dari kedua daerah.Saat pertempuran itu terjadi, Hadiwijaya memberi kepercayaan kepada Danang Sutawijaya sebagai panglima perang. Danang Sutawijaya adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya. Danang sebagai senopati perang didampingi oleh Ki Gede Pemanahan. Dengan semangat yang tinggi dan bekal senjata tombak Kyai Pleret, mereka berdua pergi melaksanakan perintah Sultan Hadiwijaya ke medan perang. Mereka beserta rombongan agar selamat dalam medan perang, dianjurkan tidak melalui sungai atau menyeberangi sungai. Karena kelemahan mereka terdapat pada air atau sungai, yang dapat mengakibatkan kekalahan. Ketika peperangan terjadi, Arya Penangsang tewas oleh Danang Sutawijaya dengan tombak Kyai Pleret. Dengan tewasnya Arya Penangsang anak buahnya menjadi kalang kabut. Maka menanglah pihak Danang Sutawijaya. Sutawijaya didampingi Ki Gede Pemanahan beserta seluruh pasukannya kembali ke Pajang dengan membawa kemenangan. Gembiralah hati Sultan Hadiwijaya mendengar laporan kemenangan dari Sutawijaya.Sebagai balas jasa, atas keberhasilan Sutawijaya, maka Sultan menghadiahkan tanah di daerah hutan Mentaok kepada mereka berdua. Sejak saat itu Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan mulai mengubah hutan Mentoak dan membangunnya menjadi sebuah kerajaan. Maka berdirilah kerajaan Mataram. Dengan rajanya Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati menjadi sebuah kerajaan besar yang mempunyai pengaruh luas. Kemudian muncullah niat Penembahan Senopati untuk memperluas wilayah kerajaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Panembahan Senopati minta pendapat kepada Ki Gede Pemanahan. Nasihat yang diberikan Ki Gede Pemanahan yaitu memperkuat bala tentaranya sehingga dapat digerakkan untuk menaklukkan wilayah bagian lain. Langkah pertama yang ditempuh yaitu membuka daerah membuka daerah hutan di Kedu. Konon Hutan Kedu tersebut masih merupakan semak belukar yang masih angker. Karena tempat tersebut tidak pernah dikunjungi manusia. Menurut kepercayaan masyarakat setemppat, Hutan Kedu itu merupakan kerajaan Jin dengan rajanya bernama Jin Sepanjang. Untuk menghadapi segala kemungkinan, maka ditunjuknya Pangeran Purbaya sebagai Senopati perang. Hari yang ditentukan telah tiba untuk membuka hutan Kedu. Pangeran Purbaya beserta rombongan dengan membawa pusaka kerajaan Mataram, untuk membuka hutan Kedu. Tatkala hutan Kedu mulai dibuka, dan masuklah bala tentara Mataram untuk mengobrak-abrik hutan tersebut murkalah raja Jin Sepanjang. Raja Jin Sepanjang memerintahkan pasukannya untuk menggempur bala tentara pimpinan Pangeran Purbaya. Maka terjadilah pertempuran hebat antara pasukan kerajaan Mataram melawan pasukan kerajaan Jin. Akhirnya bala tentara Jin terpukul mundur. Raja Jin Sepanjang melarikan diri dan lolos dari kepungan pasukan Mataram.Desa hutan Kedu yang sudah dapat dikuasai olah pasukan Mataram, sebagai desa yang indah pemandangannya, subur tanhnya, dan damai Penduduknya. Dalam desa tersebut hiduplah seorang petani bernama Kyai Keramat dan istrinya bernama Nyai Bogem. Sedangkan anaknya bernama Rara Rambat. Rara Rambat sebagai seorang gadis yang rupawan. Mereka bertiga hidup tenteram di desa tersebut. Pada suatu hari Rara Rambat dan pengasuhnya mencari dedaunan dan berbagai bunga di sepanjang jalan hutan, untuk dijadikan obat-obatan. Karena asyiknya, mereka ttak menyadari bajwa di hadapannya telah berdiri seorang pemuda tampan. Rara Rambat dan pengasuhnya terkejut, bahwa di depannya ada seorang pemuda. Jejaka itu pendamping Pangeran Purbaya. Ia tertinggal oleh pasukan bala tentara Mataram tatkala menyerang bala tentara jin. Terjadilah dialog antara kedua remaja tersebut. Bertanyalah jejaka tersebut: “Siapakah engkau ini berdua di dalam hutan?” Jawab Rara Rambat: “Aku adalah Rara Rambat, rumahku ada di dalam hutan ini.” Berkatalah jejaka tersebut: “Aku adalah Raden Kuning, anggota pasukan bala tentara Mataram.” Semenjak percakapan itu, Raden Kuning terpikat oleh kecantikan Rara Rambat. Kemudian diungkapkannya isi hati Raden Kuning kepada Rara Rambat. Mendengar ucapan Raden Kuning, malu hati Rara Rambat. Larilah Rara Rambat menuju rumahnya. Peristiwa tersebut diceritakan kepada orang tuanya yaitu Kyai Keramat dan Nyai Bogem. Kedua orang tuanya gembira sekali mendengar kejadian yang diceritakan anaknya. Melihat Rara Rambat lari meninggalkannya, Raden Kuning mengikuti dari belakang. Sampailah Raden Kuning di rumah orang tua Rara Rambat. Waktu bertemu dengan orang tua Rara Rambat, mereka saling memperkenalkan diri. Tak lama kemudian, Raden Kuning meyatakan maksudnya untuk meminang Rara Rambar. Orang tua Rara Rambat senang sekali mendengar maksud Raden Kuning untuk meminang anaknya. Mereka sangat gembira akan mempunyai menantu seorang pangeran dari Kerajaan Mataram.Sesudah pernikahan dilangsungkan Mataram berhasil memporak-porandakan kerajaan Jin yang bersemayam di Hutan Kedu. Raja Jin Sepanjang berusaha membalas dendam. Dicarinya jalan bagaimana ia dapat menggempur pasukan kerajaan Mataram. Raja Jin Sepanjang mempunyai cara dengan menyamar sebagai manusia dengan nama Sonta. Sonta pergi ke rumah Kyai Keramat untuk dapat mengabdi kepadanya. Tentu saja Kyai Keramat menerimanya. Ia tidak melihat sikap keangkuhan Sonta. Dan juga tidak diketahuinya bahwa Sonta itu jelmaan Jin. Senang hati Sonta dikabulkan permintaannya. Niat jahat Sonta untuk membalas dendam mulai dilaksanakan. Dengan kesaktiannya, ia menyebarkan penyakit, sehingga muncullah wabah di desa tersebut. Kesengsaraan rakyat di desa itu tak terperikan, juga menimpa pasukan Mataram. Banyak penduduk menjadi sedih dan meninggal. Bahkan pasukan tentara Mataram banyak yang meninggal dunia karena terserang wabah. Akhirnya malapetaka yang melanda pedesaan tersebut diketahui juga oleh Pangeran Purbaya. Gelisahlah hari Pangeran Purbaya. Maka melaporlah Pangeran Purbaya kepada Panembahan Senopati. Setelah mendengar laporan dari Pangeran Purbaya, Panembahan Senopati meninggalkan singgasana menuju ke kamar pertapaannya. Di tempat tersebut Panembahan Senopati mengadakan kontak dengan Nyai Roro Kidul dan minta nasihat apa yang perlu dilakukan setelah terjadi malapetaka di desa tersebut. Sesudah selesai bertapa, keluarlah Panembahan Senopati menyampaikan nasihat yang diterima dari Nyai Roro Kidul kepada Pangeran Purbaya. Pada waktu itu Sonta sedang menikmati balas dendamnya dengan senang hati. Sonta merasa gembira karena telah berhasil menyengsarakan pasukan Mataram dari penduduk desa tersebut. Bagi Kyai Keramat yang lagi menikmati istirahatnya, agak terkejut melihat Pangeran Purbaya beserta pengiringnya datang di rumahnya. Pangeran Purbaya memberitahukan bahwa kedatangannya ialah bermaksud memberi tahu bahwa pembuat malapetaka di desa itu adalah Sonta, abdi Kyai Keramat. Tentu saja Kyai Keramat gugup mendengar pemberitahuan dari Pengeran Purbaya. Menurut Kyai Keramat, Sonta itu seorang abdi yang lugu, yang tidak mempunyai keistimewaan. Mendengar pembicaraan Pangeran Purbaya dengan Kyai Keramat tersebut, Sonta lari meninggalkan rumah Kyai Keramat. Kepergian Sonta itu diketahui Kyai Keramat dari bayang-bayang Sonta. Dikejarnya Sonta. Sesampai di suatu tempat terjadilah adu kekuatan antara Sonta dan Kyai Keramat. Ternyata Sonta itu penyamaran dari Jin Sepanjang. Dan Sonta lebih sakti daripada Kyai Keramat. Maka tewaslah Kyai Keramat. Sedang Raja Jin Sepanjang atau Sonta kabur meninggalkan tempat itu. Pangeran Purbaya mengetahui perkelahian antara dua orang sakti tersebut, tidak dapat mencegahnya. Akhirnya jenazah Kyai Keramat dimakamkan di tempat perkelahian itu. Dan tempat tersebut sampai sekarang dinamai Desa Keramat. Nyai Bogem melihat mayat suaminya, marahlah ia mengejar Sonta yang melarikan diri ke arah timur. Ternyata Nyai Bogem dapat mengejar Sonta di suatu tempat. Terjadilah pertempuran antara Sonta dan Nyai Bogem. Karena kesaktian Sonta yang tidak tertandingi, tewaslah Nyai Bogem. Pangeran Purbaya memerintahkan agar mayat Nyai Bogem dimakamkan di tempat pertempuran itu. Sampai sekarang tempat tersebut dinamai Desa Bogeman. Melihat peristiwa beruntun, yaitu kematian Kyai Keramat dan Nyai Bogem maka Pangeran Purbaya memerintahkan Tumenggung Mertoyuda untuk membinasakan Sonta. Dalam pertempuran antara Sonta dan Tumenggung Mertoyuda, ternyata Sontalah yang unggul dalam pertempuran tersebut. Tewaslah Tumenggung Mertoyuda. Kemudian Pangeran Purbaya, memerintahkan agar jenazah Mertoyuda dimakamkan di tempat pertempuran tersebut. Maka desa tersebut dinamai Mertoyuda.Kematian demi kematian terjadi, sampai Tumenggung Mertoyuda bernasib naas di tangan Sonta. Hal itu membuat perasaan Raden Krincing tersinggung sebagai salah satu Senopati andalah kerajaan Mataram. Raden Krincing bersikeras ingin membinasakan Sonta. Pertempuran terjadi, Sonta tidak dapat dikalahkan. Tewaslah Raden Krincing.Pangeran Purbaya sedih hatinya melihat kejadian tersebut. Untuk mengenang jasa Raden Krincing, Pangeran Purbaya memerintahkan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. Dan tempat tersebut dinamai Desa Krincing hingga kini.Berbagai kejadian yang dialami dan dilihat Pangeram Purbaya, membuat Pangeran Purbaya marah besar. Kemudian Pangeran Purbaya memerintahkan pasukannya untuk membinasakan Sonta.Dengan segala kekuatan, Sonta terus menghindar masuk dalam hutan. Meskipun Sonta menghindar, pasukan Mataram terus melacaknya.Dengan menakjubkan Pangeran Purbaya bisa melihat Sonta dari ketinggian pohon besar. Dihajarnya Sonta hingga jajtuh terjerembab ke tanah. Pertempuran hebat terjadi. Ternyata Pangeran Purbaya memiliki kesaktian yang lebih hebat dari Sonta. Tatkala Sonta tewas, kemudian menjelma kembali menjadi Raja Jin Sepanjang. Oleh Pangeran Purbaya, daerah pertempuran itu dinamakan Desa Santan.Jin Sepanjang terus didesak oleh bala tentara Mataram. Timbullah pertempuran lagi yang sangat dasyat. Akhirnya Jin Sepanjang tewas oleh Pangeran Purbaya. Tiba-tiba hutan menjadi gelap semua bersamaan dengan matinya Jin Sepanjang. Sedikit semi sedikit hutan yang semula gelap menjadi terang kembali bersama dengan hilangnya Jin Sepanjang.Hilang Jin Sepanjang kemudian menjadi sebatang tombak. Pangeran Purbaya tidak berminat memiliki tombak bertuah karena jelmaan dari Jin Sepanjang yang berwatak tidak baik.Kemudian Pangeran Purbaya memerintahkan prajurit untuk memanam tombak tersebut di tempat itu juga. Tempat tersebut dinamai Desa Sepanjang.Ketika pengepungan yang dilakukan pasukan Mataram terjadi Sonta dan karena rapatnya maka dikatakan “tepung gelang”, karena mengepung rapat seperti gelang.Pangeran Purbaya menyebut tempat terjadinya pengepungan bernama “Magelang”. Sekarang menjadi kota dagang yang maju dengan nama “Magelang”.

*************

LEGENDA JAKA POLENG - BREBES (2 bahasa)

Laksito adalah seorang pemuda tampan dan berbadan tegap. Dia bekerja sebagai tukang pelihara kuda milik Bupati Brebes. Kanjeng Bupati suka akan hasil kerja Laksito yang rajin dan selalu bersih.Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa Laksito pergi ke sawah untuk mencari rumput.“Bi…nyong ning sawah ndisit! (Bi…saya ke sawah dulu!)”. Teriak Laksito berpamitan pada bi Ojah, tukang masak Kanjeng Bupati.“Ya cah bagus, ati-ati yah…(Ya anak ganteng, hati-hati yah…)”. Jawab Bibi sambil melakukan sesuatu di dapur tanpa menoleh ke Laksito.Sambil membawa arit dan karung, Laksito berjalan menyusuri pematang-pematang sawah mencari rumput-rumput yang lebat dan hijau. Setelah sampai disebuah tanah lapang, dia bergumam. “Ehm, ning kene kyeeh sukete ijo-ijo nemen, pasti si genta dokoh mangane. (Ehm, di sini niih rumputnya hijau-hijau banget, pasti si genta lahap makannya)”.Kemudian Laksito mulai mengambil kuda-kuda untuk membabat semua rumput yang ada di depannya. Sesekali Laksito mengusap keringat yang ada di dahi dengan punggung tangannya. Dia terus membabat rumput tanpa kenal lelah.Setelah satu karung sudah penuh, Laksito seperti biasa beristirahat dibawah pohon yang rindang. Ditenggaknya air kendi yang dibawa dari rumah. Keringat bercucuran membasahi raut muka dan tubuhnya. Laksito setengah berbaring sambil mengipas-ngipaskan sebatang daun yang jatuh dari pohon.Saat Laksito hendak memejamkan mata, dia melihat ada seekor ular poleng dengan bermahkota intan. Laksito jadi penasaran untuk mengikuti ular tersebut. Laksito berjalan pelan-pelan agar tidak terlihat oleh tersebut. Ular tersebut kemudian berhenti di sebuah semak-semak. Laksito ikut berhenti. Matanya sangat serius memandangi ular poleng yang sedang melakukan pelepasan kulit.Setelah beberapa menit, ular tersebut berhasil melepaskan kulit. Laksito mendekati tempat tersebut setelah ular itu pergi. Kemudian Laksito mengambil bekas kulit ulat poleng itu.Laksito kembali ke tempat semula untuk melanjutkan pekerjaannya. Dua karung harus ia penuhi.“Uhh, akhire kebek juga, balik ah, wis ngelih (Uhh, akhirnya penuh juga, pulang ah, sudah lapar).” Gumam Laksito sembari mengikat kedua.Laksito beristirahat sebentar, kemudian pulang.……………………ooo…………………….

Bi, aku ngelih bi, pan mangan (Bi, aku laper bi, mau makan)” seru Laksito.“Lho To, kowen ning ndi! (Lho To, kamu di mana!),” teriak Bi Ojah karena terkejut.“Nyong neng iringane Bibi! (Saya di samping Bibi!)” kata Laksito heran.“Aja guyon toh To… Bibi mboten weruh kowe neng kene…(Jangan bercanda dong To…Bibi tidak melihat kamu ada di sini),” kata bibi agak ketakutan.“ Nyong neng kene Bi..(Aku di sini Bi…),” kata Laksito dengan memegang tangan Bibi Ijah.Bibi Ojah kaget buka kepalang ketika dia merasakan ada tangan yang memegang tangannya tapi tidak terlihat. Bi Ojang langsung teriak masuk ke padepokan Kanjeng Bupati untuk mengadu.Selang beberapa menit, Bi Ojang kembali ke dapur bersama Kanjeng Bupati.“Neng endi Bi…? (Di mana bi…),” tanya Kanjeng Bupati penasaran atas cerita Bi Ojah.“Ampun Kanjeng, suarane neng kene Gusti. (Ampun Kanjeng, suaranya tadi di sini)” . Bi Ojang mencoba meyakinkan Kanjeng Bupati.“Laksito! Kowen neng ndi? (Laksito! Kamu di mana?).” Teriak Kanjeng Gusti Bupati.“Ampun Gusti Kanjeng, hamba neng kene, neng iringane Gusti. (Ampun Tuan, saya di sini, di samping tuan). ” Jawab Laksito.“Lho lho lho, ko kowen ora katon? (Lho lho lho, kok kamu tidak terlihat?)” seru Kanjeng terperanjat sangat terkejut.“Ampun Gusti, hamba ora ngerti. (Maaf Gusti, hamba tidak mengerti)”. Jawab Laksito bingung.Sejenak Kanjeng Gusti Bupati merenung.“ana kejadian apa sing kowen alami sedurunge kiye? ( ada kejadian apa yang kamu alami sebelum ini?) Tanya Kanjeng Gusti Bupati.Laksito terdiam sejenak mencoba berfikir.“Oh iya Gusti, mau, sewaktu hamba luruh suket neng sawah, hamba weruh ula poleng sing endase ana intan mengkilat repan nglungsumi. Terus hamba perhatikna lan hamba jukut kulite. (Oh iya Gusti, tadi , sewaktu hamba mencari rumput di sawah, hamba melihat ular poleng yang kepalanya ada intan mengkilat akan nglungsumi (berganti kulit). Lalu hamba meperhatikan dan hamba mengambil kulit ular poleng tersebut) Cerita Laksito atas kejadian tadi di sawah.“Oh…kaya kuwe, terus kulite neng endi? (Oh…seperti itu, lalu kulit ular poleng itu sekarang dimana?) ” Tanya Kanjeng Gusti Bupati.“Neng sake hamba (Di saku hamba)”Coba kowen tok na terus dokon ning meja Coba kamu keluarkan kemudian di taruh diatas meja) ” Pinta Kanjeng Gusti Bupati.“Nggih Gusti (Iya Gusti) .” Laksito menuruti.Benar juga, setelah kulit tersebut dikeluarkan dan diletakkan di meja, seketika tubuh Laksito terlihat. Ini membuat Bi Ojah yang sedari tadi diam, langsung terperanjat.“Wah Laksito, kowen wis katon (Wah Laksito, kamu sudah kelihatan)”. Teriak Bi Ojah.Laksito tersenyum lega. Kanjeng Gusti Bupati mengangguk mengerti.“To, kulit ula kuwe aku simpen (To, kulit ular itu aku simpan)”, kata Gusti sambil telunjuknya menunjuk kulit ular tersebut memberi isyarat kepada Laksito untuk diambilkan dan kemudian diserahkan ke Kanjeng Gusti Bupati.Dengan halus Laksito menolaknya, “Ampun Gusti, kulit kiye ndeke hamba (Ampun Gusti, kulit ular ini punya hamba)”“Pan nggo apa To, laka gunane denggo kowen.” (Untuk apa To, tidak ada gunanaya kulit ular itu digunakan kamu) Bujuk Kanjeng Gusti Bupati.“Ampun Gusti, karena sing nemu aku, dadi aku sing berhak nduweni benda kiye (Ampun Gusti, karena yang menemukan kulit ular ini hamba, jadi hamba yang lebih berhak memiliki benda ini)” Jawab Laksito.“Laka gunane ning kowen, cepet wekena aku! (Tidak ada gunanya sama kamu, cepat berikan kepadaku !)” Teriak Gusti Kanjeng Bupati memaksa Laksito.“Ampun Gusti, hamba ora bisa (Ampun Gusti, hamba tidak bisa),” Kekeh Laksito.Kemudian terjadilah perebutan antara Gusti Bupati dan Laksito. Karena Laksito takut benda itu jatuh ke tangan Gusti Bupati, Laksito buru-buru memasukkan benda itu ke mulutnya, dan tanpa disengaja benda tersebut tertelan.Gusti Bupati hanya bisa menahan emosinya, saat melihat benda itu tertelan. Perlahan-lahan tubuh Laksito menghilang.“Maafna hamba Gusti, hamba wis wani karo Gusti (Maafkan hamba Gusti, hamba sudah berani melawan dengan Gusti)” Kata Laksito lirih.Bupati menghela nafas panjang.“Aku nyesel wis maksa kowen Laksito, sebenere memang kuwe hak-e kowen, tapi aku maksa, dadi akhire kaya kiye, aku nyesel, maafna aku Laksito (Aku menyesal sudah memaksa kamu Laksito, sebenarnya itu memang haknya kamu Laksito, tapi aku memaksa, jadi akhirnya seperti ini, aku menyesal, maafkan aku Laksito).” Sesal Gusti Bupati.Lalu Gusti melanjutkan berkata; “Kiye mungkin wis takdire kowen Laksito, kowen wujude wis laka. Aku njaluk karo kowen, tolong kowen jaga rakyate aku yaiku rakyat Brebes. Karena kowen esih Jejaka lan mangan kulit ula poleng, dadi saiki kowen tak arani Jaka Poleng." (Ini mungkin sudah takdirnya kamu Laksito, kamu wujudnya sudah tidak ada. Aku minta sama kamu, tolong kamu jaga rakyatku, yaitu rakyat Brebes. Karena kamu masih Jejaka dan telah memakan kulit ular poleng, jadi sekarang kamu saya namakan Jaka Poleng.)

Asal Usul Nama Kota Batang (Jawa Tengah)

Kota Batang belum banyak dikenal luas oleh masyarakat umum, hal ini dapat dilihat masih banyak yang bertanya Batang itu mana ?Salah satunya disebabkan karena masih banyaknya masyarakat Batang itu sendiri ketika berpergian ke luar kota apabila ditanya orang dari daerah mana asalnya masih banyak yang menjawab dari Pekalongan, mungkin karena pusat kota nya yang sangat dekat dengan kota Pekalongan sehingga masyarakat lebih mengenal kota Pekalongan daripada Batang nya sendiri.Kota Batang merupakan kota kecil yang masuk dalam lingkup Provinsi Jawa Tengah, dengan luas daerah 788.642,16 km2. Menurut legenda yang sangat populer, nama kota Batang berasal dari kata= Ngembat- Watang yang berarti mengangkat batang kayu. Perihal mengangkat batang kayu ini erat kaitannya dengan perjuangan tentara Mataram melawan tentara Kompeni di Batavia. Hal ini diambil dari peristiwa kepahlawanan Ki Ageng Bahurekso, yang dianggap dari cikal bakal Batang.Adapun riwayatnya diungkapkan sebagai berikut:Konon pada waktu Mataram mempersiapkan daerah- daerah peratanian untuk mencukupi persediaan beras bagi para prajurit Mataram yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia, Bahurekso mendapat tugas membuka hutan Roban untuk dijadikan daerah pesawahan. Hambatan dalam pelaksanaan tesebut ternyata cukup banyak. Para pekerja penebang hutan banyak yang sakit dan mati karena konon diganggu oleh jin, setan peri prayangan, atau siluman- siluman penjaga hutan Roban, yang dipimpin raja mereka Dadungawuk.Namun berkat kesaktian Bahurekso, raja siluman itu dapat dikalahkan dan berakhirlah gangguan-gangguan tersebut walaupun dengan syarat bahwa para siluman itu harus mendapatkan bagian dari hasil panen tersebut. Demikianlah hutan Roban sebelah barat ditebang seluruhnya. Tugas kini tinggal mengusahakan pengairan atas lahan yang telah dibuka itu.Tetapi pada pelaksanaan sisa pekerjaan inipun tidak luput dari gangguan maupun halangan-halangan.Gangguan utama adalah dari Raja Siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Bendungan yang telah selesai dibuat untuk menaikkan air sungai dari Lojahan yang sekarang bernama sungai Kramat itu selalu jebol karena dirusak oleh anak buah raja Uling.Mengetahui hal itu Bahurekso langsung turun tangan, Semua anak buah raja Uling yang bermarkas disebuah Kedung sungai itu diserangnya. Korban berjatuhan di pihak Uling, Merahnya semburan-semburan darah membuat air kedung itu menjadi merah kehitaman “ gowok“ , maka kedung tersebut dinamakan Kedung Sigowok. Raja Uling marah melihat anak buahnya binasa. Dengan pedang Swedang terhunus ia menyerang Bahureksa. Karena kesaktian pedang Swedang tersebut, Bahureksa dapat dikalahkan. Siasat segera dilakukan. Atas nasehat ayahandanya Ki Ageng Cempaluk. Bahureksa disuruh masuk ke dalam Keputren kerajaan Uling, untuk merayu adik sang raja yang bernama Dribusowati seorang putri siluman yang cantik. Rayuan Bahureksa berhasil. Dribusawati mau mencurikan pedang pusaka milik kakaknya itu, dan diserahkan kepadanya. Dengan pedang Swedang ditangan, dengan mudah raja Uling di kalahkan, dengan demikian maka gangguan terhadap bendungan sudah tidak pernah terjadi lagi. Tetapi bukan berarti hambatan-hambatan sudah tidak ada lagi.Tenyata air bendungan itu tidak selalu lancar alirannya. Kadang- kadang besar, kadang- kadang kecil, bahkan tidak mengalir sama sekali. Setelah diteliti ternyata ada batang kayu (watang) besar yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh puluh orang disuruh mengangkat memindah watang tersebut, tetapi sama sekali tidak berhasil. Akhirnya Bahurekso turun tangan sendiri. Setelah mengheningkan cipta, memusatkan kekuatan dan kesaktiannya, watang besar itu dapat dengan mudah diangkat dan dengan sekali embat patahlah watang itu.Demikianlah peristiwa ngembat watang itu terjadilah nama Batang dari kata ngem Bat wa Tang (Batang). Orang Batang sendiri sesuai dialeknya menyebut “ Mbatang. ”

Melihat uraian dari sumber lisan atau legenda tersebut, kita dapat memperkirakan sejak kapan ini terjadi.Persiapan Mataram untuk menyerang Batavia adalah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, tahun 1613 s/d 1628. Penyerangan pertama ke Batavia adalah pada tahun 1628, ambillah persiapan itu sedini- dininya, yaitu awal pemerintahan Sultan Agung, maka hal itu terjadi pada tahun 1613.Betapa mudahnya nama Batang ini terjadi dan dikenal. Majalah Karya Dharma Praja Mukti pernah memuat sesuatu tulisan kiriman Kusnin Asa, disitu disebutkan bahwa nama Batang dikenal pada jaman kerajaan Majapahit, sebagai suatu kota pelabuhan. Nama Batang berasal dari kata BATA-AN. Bata berarti batu, dan AN berarti satu atau pertama.Menurut Bp. Suhadi BS, BA dalam naskah pengantar lambang daerah Batang menyebutkan, bahwa berdasarkan Sapta Parwa karya Mohamad Yamin dengan berita Tionghoa yang berhasil ia kutip lengkap dengan fragmen petanya, ia menyebutkan bahwa nama Batang telah dikenal sejak orang-orang Tionghoa banyak berguru agama Budha ke Sriwijaya. Batang ini dikenal dengan nama Batan sebagai kota pelabuhan sejaman dengan Pemaleng (Pemalang) dan Tema (Demak). Menurut kamus Kawi-Indonesia karangan Prof.Drs.Wojowasito, Batang berarti:

1. Plataran,

2. Tempat yang dipertinggi,

3. Dialahkan,

4. Kata bantu bilangan

Dalam bahasa Indonesia (juga bahasa Melayu) berarti sungai, dalam kamus jawa- Indonesia karangan Prawiroatmojo berarti terka, tebak.

Atas dasar arti kata tersebut diatas maka dalam hubungan alami yang ada dilokasi yang ada disekarang ini maka yang agak tepat adalah:

plataran (platform) yang agak ketinggian dibandingkan dengan dataran disekitarnya maupun bila dilihat dari puncak pegunungan di sekitarnya juga bila dipandang dari laut jawa.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya cuma mau tanya apakah punya legenda joko poleng brebes, misalnya asal mula dan siapa sebenarnya joko poleng dan apa hubungannya dengan dewa ular anantaboga, makasih