Senin, 30 Januari 2012

Bergaul Dengan Tetangga

Bismillah, washalatu wa ssalaamu ‘ala Rasulillah wa man tabi’ahu biihsan ila yaumiddin.
Amma ba’du,

Saudariku, semoga Allah merahmatimu.
Manusia adalah makhluk sosial, kita tentu setuju dengan pernyataan ini. Kita dikelilingi oleh orang lain dimana kita juga membutuhkan mereka sesuai dengan peranannya masing-masing. Ada orang tua, saudara, tetangga, teman, maupun orang-orang yang jasanya biasa kita butuhkan seperti guru, penjual, pembeli, supir angkot, pak tukang dan lain-lain.
Karena itu, bermuamalah antar sesama manusia merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan kita. Agama yang mulia ini pun sudah mengatur bagaimana tata cara bermuamalah antar sesama. Dalam tulisan berikut kita khususkan pembahasan tentang bagaimana bermuamalah atau bergaul dengan tetangga. Mari kita simak petuah dan contoh nyata manusia yang paling mulia di muka bumi ini, Nabi Muhammad ‘Alaihi Shalaatu wassalaam dalam bergaul dengan tetanga. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Anjuran memuliakan tetangga.
Berikut diantara dalil-dalil yang menganjurkan untuk memuliakan tetangga :
  • Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
    ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه
    “ Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku agar memperhatikan tetangga sehingga aku mengira bahwa dia mendapatkan warisan.” (HR. Bukhori 5555)
  • Dari Suroih Al-Adawi Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
    “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari pembalasan maka muliakan tetangganya.” (HR. Bukhori 5560 )
Jadilah engkau tetangga yang baik!
Seorang muslim haruslah berusaha menjadi tetangga yang baik. Janganlah seorang muslim malah menjadi ancaman bagi tetangganya, baik tetangganya tersebut muslim ataupun kafir, kaya ataupun miskin, tua atau pun muda, sesuku ataupun berbeda suku. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه
Tidak masuk surga orang yang apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhori 66)
Wahai saudariku, penuhilah hak-hak tetanggamu dan berbuat baiklah kepada mereka !
Jika tetanggamu yang muslim merupakan kerabatmu maka penuhilah haknya sebagai kerabat, hak sesama mulim, dan hak sebagai tetangga.
Jila tetanggamu seorang muslim maka penuhilah haknya senagai sesama muslim dan hak sebagai tetanga.
Jika tetanggamu adalah orang kafir maka penuhi haknya sebagai tetangga.
Ketahuilah saudariku, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
وخير الجيران عند الله خيرهم لجاره
“ …dan sebaik baik tetangga disisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.” (HR. Tirmidzi 1867 dishahihkan al-Albani Silsilah Shohihah 1/211)
Bagaimana seharusnya bergaul dengan tetangga?
  • Tetangga yang baik hendaknya menjaga kehormatandan harta tetangganya.
  • Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Miqdad bin al-aswad  radhiallahu ‘anhu, ia mengatakn bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda kepada para sahabatnya: “Apa pendapat kalian tentang zina?” Para sahabat menjawab : “Perbuatan terlarang yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan hal itu akan tetap haram hingga hari kiamat.” Beliau Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
    لأن يزني الرجل بعشرة نسوة أيسر عليه من أن يزني بامرأة جاره
    “Seorang yang berzina dengan sepuluh orang wanita lebih ringan dosanya daripada ia berzina dengan istri tetangganya.” Lalu beliau bertanya : “Apa pendapat kalian tentang mencuri?” Mereka menjawab:” Perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan akan tetap haram hingga hari kiamat.” Beliau bersabda:
    لأن يسرق الرجل من عشرة أبيات أيسر عليه من أن يسرق من جاره
    “Seseorang yang mencuri disepuluh rumah,lebih ringan dosanya dari pada mencuri dirumah tetangganya.” ( HR. Imam ahmad 23905)
  • Tetangga yang baik hendaknya memenuhi hak-hak tetangganya yang muslim.
  • Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
    حق المسلم على المسلم ست : إذا لقيته فسلم عليه وإذا دعاك فأجبه وإذا استنصحك فانصح له وإذا عطس فحمد الله فسمته وإذا مرض فعده وإذا مات فاتبعه
    “Hak muslim terhadap muslim yang lain ada enam, apabila engkau bertemu dengannya hendaklah engkau mengucapkan salam kepadanya, apabila dia mengundangmu maka penuhi undangannya, apabila ia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasihat kepadanya, apabila ia bersin kemudian dia memuji Allah makadoakan dia dengan mengucapkan “ yarhakumullah”, apabila dia sakit maka jenguklah, apabila dia meningggal maka iringi jenazahnya.” (HR. Muslim, 2162)
  • Menutupi aib tetangganya.
  • Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
    من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة
  • Menjauhkan perkara yang dapat menggangu ketenangan saudaranya.
  • Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِى جَارَهُ
    “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Pembalasan maka jangan mengganggu tetangganya.” (HR. Bukhori, 5559 )
  • Membalas kejelekan dengan kebaikan.
  • وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
    “… serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapatkan tempat kesudahan (yang baik).” ( QS. Al-Ro’du : 13 :22 )
  • Memberi makanan pada tetangga terutama kepada yang miskin.
  • Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu sesungguhnya kholilku Shalallahu ‘alaihi waSalam berwasiat kepadaku;
    إذا طبخت مرقا فأكثر ماءه ثم انظر أهل بيت من جيرانك فأصبهم منها بمعروف
    “Apabila kamu memasak kuah, maka perbanyak airnya, lalu lihatlah keluarga rumah tetangamu, lalu berilah mereka sewajarnya.” (HR. Muslim : 4759 )
    Dari Umar Radhiallahu ‘anhu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :
    لا يشبع الرجل دون جاره
    “Tidak boleh kenyang seseorang sedangkan tetangganya kelaparan.” (HR. Imam Ahmad 367. Semua rawinya kuat. Liht Musnad Umar bin Khotthob yang terakhir )
  • Jika tetangga kafir, berbuat baik dilakukan dengan cara memberi hadiah, menjenguknya bila sakit, menasehatinya, mengajaknya agar masuk islam dan menunaikan haknya yang lain.
  • Jika tetangga ahli bid’ah dengan tidak mendatangi undangannya yang bid’ah, tidak membantu kebid’ahannya, menasehati dengan baik, menyeru agar kembali kepada Sunnah dan menunaikan hak tetangga yang lainnya.
Semoga Allah selalu memberikan taufiq kepada kita untuk menjadi tetangga yang baik dan memberikan kepada kita tetangga yang baik.
Wa Shalallahu ‘ala nabinaa Muhammad walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin…..
***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Ismianti Ummu Maryam
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’ :
¹ BULUUGHUL MARAAM MIN ADILLATIL AHKAM, HAAFIZHAHMAD IBN ‘ALII IBN HAJAR AL ASQALANI. DAARU IBN JAUZII,AL QAAHIRA.
² TERJEMAH SHAHIH TAFSIR IBNU KATSIR JILID 2, TEAM AHLI TAFSIR DIBAWAH PENGAWASAN SYAIKH SHAFIYURRAHMAN AL-MUBARAKFURI,PUSTAKA IBNU KATSIR, BOGOR.
³ TUNTUNAN PRAKTISBERQURBAN ,Al Furqon edisi 4 th. Ke 71428/207,. (dengan sedikit perubahan)

Selasa, 10 Januari 2012

Hukum Seputar Darah Wanita: Istihadlah

Penulis: Ummu Muhammad
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar

Definisi Istihadlah

Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji’ (vagina)-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan sebagai darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullaah dalam penjelasaannya terhadap Shahih Muslim mengatakan: “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17, Fathul Bari 1/511)

Al Imam Al Qurthubi rahimahullaah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57).

Syaikh Al Utsaimin rahimahullaah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, ia berkata: “Fathimah bintu Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci…’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain: ‘Aku istihadlah tidak pernah suci… .’

Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya: “Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya). (Terj. Risalah fid Dima’, hal. 40)

Antara Darah Haid dan Darah Istihadlah

Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallaahu ‘anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata, “Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”

Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah, “Yang demikian itu hanyalah darah dari urat, bukan haid.”

Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, yaitu yang pasti dialami oleh setiap wanita normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatan setan yang ingin menimbulkan keraguan pada anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159): “Makna sabda Nabi: (’Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah setan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga setan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.” Al Imam As Shan’ani melanjutkan: “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)

Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit. Sehingga menurut Ibnu Taimiyyah, keduanya harus dibedakan. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).

Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) serta keluar dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:

  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.

Keadaan Wanita yang Istihadlah

Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan:

Pertama: Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.

Misalnya: Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang kau biasa haid, kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari)

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin, “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)

Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak perlu mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan wanita yang suci.

Keadaan kedua: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu (mubtada’ah) sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah (mumayyizah). Maka untuk membedakan sifat darah haid dan darah istihadlah menggunakan cara tamyiz (pembedaan sifat darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam, kental dan beraroma tidak sedap. Bila dia dapatkan demikian, maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullaah)

Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Mereka berdalil dengan hadits Fathimah bintu Abu Hubaisy di atas. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya. Pendapat inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.

Keadaan ketiga: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula dapat membedakan darahnya. Darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya sama atau tidak jelas perbedaannya. Maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Selebihnya berarti istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis.

Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha dimana beliau mengalami istihadlah yang banyak dan deras, maka beliau meminta fatwa pada Nabi Shallallaahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Menurut Ahmad dan Tirmidzi hadits shohih, sedang menurut Imam Bukhoriy, hadits hasan)

Kata Al Imam As Shan’ani: “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159)

Wanita yang memiliki keadaan seperti ini, ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila kebiasaan haidnya enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila kebiasaan haidnya tujuh hari. Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun dengan melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dan berdekatan umur dengannya. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits: ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, -pent). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya para wanita memiliki salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh). Di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita (yang meiliki kebiasaan seperti itu) mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan (rahim) dengannya.” (Subulus Salam hal. 160)

Para ahli fikih berkata: “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat (kebiasaan) yang tetap dan pasti, maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa ulama Salaf, halaman 54)

Apabila kebiasaan wanita yang seumur dan paling dekat kekerabatan dengannya itu bukan enam atau tujuh hari (misalnya sepuluh hari), maka dia tetap harus berpedoman dengan kebiasaan wanita tersebut yaitu sepuluh hari. Allahu Ta’ala A’lam.

Kondisi keempat dan kelima: Jika wanita tersebut memliki kebiasaan haid tertentu, namun haidnya tidak teratur bilangannya (muktaribah), maka jika masih memungkinkan melakukan tamyiz, maka kondisinya disesuaikan dengan wanita dengan kondisi kedua di atas.

Kondisi keenam: Wanita yang memiliki kebiasaan, namun lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus-menerus keluar, maka ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan darahnya (mubtada-ah). Ada yang berkata: Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Majmu’ Syarhil Muhadzdzab 2/396). Yang rojih, menurut Syaikh Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, adalah mengembalikannya pada kebiasaan wanita yang lain namun dalam hal ini lebih dipersempit. Misalnya wanita itu hanya ingat bahwa ia haid di awal bulan, namun lupa tanggal berapa. Kemudian keluar darah terus menerus. Ibu wanita tersebut memiliki haid yang teratur setiap awal bulan pada tanggal tertentu, demikian pula dengan saudara wanitanya hanya saja di akhir bulan. Maka wanita tersebut harus menetapkan tanggal haidnya sesuai tanggal haid ibunya, meski kekerabatan rahim dan umurnya lebih mendekati saudara wanitanya.

Kondisi ketujuh: Jika ia tahu bilangan/durasi haidnya dan letaknya (awal, tengah atau akhir), namun ia lupa tepatnya tanggal berapa ia haid, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian mengatakan bahwa dia harus mengambil tanggal haidnya di awal bulan (meski ia yakin biasa haid di tengah bulan). Akan tetapi, menurut Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ yang lebih mendekati pada kenyataan sebenarnya adalah mengambil tanggal pasti dari awal, tengah, atau akhir bulan. Misal wanita tersebut yakin ia haid di tengah bulan namun lupa tanggal berapa. Maka yang lebih mendekati kebenaran adalah ia menetapkan tanggal haidnya adalah tanggal 13, daripada menetapkan tanggal haidnya di awal bulan.

Hukum-Hukum Istihadlah

Hukum wanita yang istihadlah sama seperti hukum wanita yang suci kecuali pada hal berikut ini:

1. Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain (pembalut) berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah radhiyallaahu’anha: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas karena dia mampu menyerap darah’. Hamnah radhiyallaahu’anha berkata, ‘Darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,’Gunakan kain’. Hamnah berkata,’darahnya lebih banyak dari itu’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Gunakan penahan’.”

Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah: 222). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ hal. 50)

Apakah Wajib Mandi Setiap Akan Shalat?

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan: “Darah itu dari urat. Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)

Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata: “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana dinukil dari mereka oleh Al Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf.” (4/19-20)

Adapun hadits yang ada tambahan lafadz: “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.” Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq -seorang perawi hadits ini- salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh: “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221) jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)

As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah: “Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadz: “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah dalil karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya: “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” (Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh Al Albani dan lain-lain)

Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah, tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.

Apakah Wajib Wudlu Setiap Akan Shalat?

Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya: “‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan, ‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari: 228)

Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadz: “Berwudlulah” setelah lafadz: “Cucilah darah haidmu”. Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadz hadits di atas adalah: “Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)

Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan. Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya: “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang kami tinggalkan penyebutannya.”

Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl: “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah: ((“watawadl-dla’i/ berwudlulah”)). An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan: ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan: ‘Berwudlulah’ ” (Syarah Muslim 4/22)

Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di atas. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224- 226).

Kesimpulannya: Perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah yang datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh para ulama. Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat dan sudah lewat penyebutan kami tentang masalah mandi bagi wanita istihadlah ini. Walhamdulillah.

Maroji’:

  1. Darah yang Menimpa Wanita, [MUSLIMAH Rubrik Kajian Kita Edisi 37/1421 H/2001 M], Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah.
  2. Istihadlah, [MUSLIMAH Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita ]., Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyah.
  3. Risalah fi Ad Dima’ Ath Thabi’iyyah lin Nisa’ (Terj. Darah Kebiasaan Wanita), Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
  4. Darah Kebiasaan Wanita, rekaman dauroh, al Ustadz Ibnu Yunus.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Hukum Seputar Darah Wanita: Istihadlah

Penulis: Ummu Muhammad
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar

Definisi Istihadlah

Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji’ (vagina)-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan sebagai darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullaah dalam penjelasaannya terhadap Shahih Muslim mengatakan: “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17, Fathul Bari 1/511)

Al Imam Al Qurthubi rahimahullaah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57).

Syaikh Al Utsaimin rahimahullaah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, ia berkata: “Fathimah bintu Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci…’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain: ‘Aku istihadlah tidak pernah suci… .’

Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya: “Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya). (Terj. Risalah fid Dima’, hal. 40)

Antara Darah Haid dan Darah Istihadlah

Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallaahu ‘anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata, “Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”

Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah, “Yang demikian itu hanyalah darah dari urat, bukan haid.”

Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, yaitu yang pasti dialami oleh setiap wanita normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatan setan yang ingin menimbulkan keraguan pada anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159): “Makna sabda Nabi: (’Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah setan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga setan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.” Al Imam As Shan’ani melanjutkan: “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)

Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit. Sehingga menurut Ibnu Taimiyyah, keduanya harus dibedakan. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).

Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) serta keluar dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:

  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.

Keadaan Wanita yang Istihadlah

Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan:

Pertama: Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.

Misalnya: Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang kau biasa haid, kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari)

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin, “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)

Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak perlu mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan wanita yang suci.

Keadaan kedua: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu (mubtada’ah) sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah (mumayyizah). Maka untuk membedakan sifat darah haid dan darah istihadlah menggunakan cara tamyiz (pembedaan sifat darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam, kental dan beraroma tidak sedap. Bila dia dapatkan demikian, maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullaah)

Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Mereka berdalil dengan hadits Fathimah bintu Abu Hubaisy di atas. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya. Pendapat inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.

Keadaan ketiga: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula dapat membedakan darahnya. Darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya sama atau tidak jelas perbedaannya. Maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Selebihnya berarti istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis.

Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha dimana beliau mengalami istihadlah yang banyak dan deras, maka beliau meminta fatwa pada Nabi Shallallaahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Menurut Ahmad dan Tirmidzi hadits shohih, sedang menurut Imam Bukhoriy, hadits hasan)

Kata Al Imam As Shan’ani: “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159)

Wanita yang memiliki keadaan seperti ini, ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila kebiasaan haidnya enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila kebiasaan haidnya tujuh hari. Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun dengan melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dan berdekatan umur dengannya. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits: ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, -pent). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya para wanita memiliki salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh). Di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita (yang meiliki kebiasaan seperti itu) mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan (rahim) dengannya.” (Subulus Salam hal. 160)

Para ahli fikih berkata: “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat (kebiasaan) yang tetap dan pasti, maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa ulama Salaf, halaman 54)

Apabila kebiasaan wanita yang seumur dan paling dekat kekerabatan dengannya itu bukan enam atau tujuh hari (misalnya sepuluh hari), maka dia tetap harus berpedoman dengan kebiasaan wanita tersebut yaitu sepuluh hari. Allahu Ta’ala A’lam.

Kondisi keempat dan kelima: Jika wanita tersebut memliki kebiasaan haid tertentu, namun haidnya tidak teratur bilangannya (muktaribah), maka jika masih memungkinkan melakukan tamyiz, maka kondisinya disesuaikan dengan wanita dengan kondisi kedua di atas.

Kondisi keenam: Wanita yang memiliki kebiasaan, namun lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus-menerus keluar, maka ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan darahnya (mubtada-ah). Ada yang berkata: Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Majmu’ Syarhil Muhadzdzab 2/396). Yang rojih, menurut Syaikh Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, adalah mengembalikannya pada kebiasaan wanita yang lain namun dalam hal ini lebih dipersempit. Misalnya wanita itu hanya ingat bahwa ia haid di awal bulan, namun lupa tanggal berapa. Kemudian keluar darah terus menerus. Ibu wanita tersebut memiliki haid yang teratur setiap awal bulan pada tanggal tertentu, demikian pula dengan saudara wanitanya hanya saja di akhir bulan. Maka wanita tersebut harus menetapkan tanggal haidnya sesuai tanggal haid ibunya, meski kekerabatan rahim dan umurnya lebih mendekati saudara wanitanya.

Kondisi ketujuh: Jika ia tahu bilangan/durasi haidnya dan letaknya (awal, tengah atau akhir), namun ia lupa tepatnya tanggal berapa ia haid, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian mengatakan bahwa dia harus mengambil tanggal haidnya di awal bulan (meski ia yakin biasa haid di tengah bulan). Akan tetapi, menurut Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ yang lebih mendekati pada kenyataan sebenarnya adalah mengambil tanggal pasti dari awal, tengah, atau akhir bulan. Misal wanita tersebut yakin ia haid di tengah bulan namun lupa tanggal berapa. Maka yang lebih mendekati kebenaran adalah ia menetapkan tanggal haidnya adalah tanggal 13, daripada menetapkan tanggal haidnya di awal bulan.

Hukum-Hukum Istihadlah

Hukum wanita yang istihadlah sama seperti hukum wanita yang suci kecuali pada hal berikut ini:

1. Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain (pembalut) berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah radhiyallaahu’anha: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas karena dia mampu menyerap darah’. Hamnah radhiyallaahu’anha berkata, ‘Darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,’Gunakan kain’. Hamnah berkata,’darahnya lebih banyak dari itu’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Gunakan penahan’.”

Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah: 222). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ hal. 50)

Apakah Wajib Mandi Setiap Akan Shalat?

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan: “Darah itu dari urat. Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)

Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata: “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana dinukil dari mereka oleh Al Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf.” (4/19-20)

Adapun hadits yang ada tambahan lafadz: “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.” Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq -seorang perawi hadits ini- salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh: “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221) jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)

As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah: “Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadz: “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah dalil karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya: “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” (Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh Al Albani dan lain-lain)

Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah, tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.

Apakah Wajib Wudlu Setiap Akan Shalat?

Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya: “‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan, ‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari: 228)

Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadz: “Berwudlulah” setelah lafadz: “Cucilah darah haidmu”. Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadz hadits di atas adalah: “Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)

Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan. Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya: “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang kami tinggalkan penyebutannya.”

Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl: “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah: ((“watawadl-dla’i/ berwudlulah”)). An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan: ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan: ‘Berwudlulah’ ” (Syarah Muslim 4/22)

Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di atas. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224- 226).

Kesimpulannya: Perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah yang datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh para ulama. Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat dan sudah lewat penyebutan kami tentang masalah mandi bagi wanita istihadlah ini. Walhamdulillah.

Maroji’:

  1. Darah yang Menimpa Wanita, [MUSLIMAH Rubrik Kajian Kita Edisi 37/1421 H/2001 M], Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah.
  2. Istihadlah, [MUSLIMAH Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita ]., Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyah.
  3. Risalah fi Ad Dima’ Ath Thabi’iyyah lin Nisa’ (Terj. Darah Kebiasaan Wanita), Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
  4. Darah Kebiasaan Wanita, rekaman dauroh, al Ustadz Ibnu Yunus.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Hukum Seputar Darah Wanita: HAID

Penulis: Ummu Hamzah
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar

Pada tulisan yang telah lalu telah dibahas mengenai hal-hal yang diharomkan bagi wanita haid. Pada tulisan bagian kedua ini, akan dipaparkan tiga permasalahan penting terkait wanita haid, yaitu mengenai boleh tidaknya wanita haid masuk ke dalam masjid serta menyentuh dan membaca Al Qur’an.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid masuk dan duduk di dalam masjid ?

Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:

لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدُ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ

“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)

Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.

Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):

  1. Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh.
  2. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:

لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ

“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)

Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”

Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”

Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)

Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.

Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)

Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?

Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:

لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ

Artinya:

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)

يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:

لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)

Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)

Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ

Artinya:
“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)

Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.

Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).

Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:

  1. Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]
  2. Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)

Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:

الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ

“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.

Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:

نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو

“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).

Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)

Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)

Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.

Rujukan:

  1. Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, artikel Majalah As Sunnah 01/ IV/ 1420-1999, Abu Sholihah Muslim al Atsari.
  2. Jami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa al ‘Adawi.
  3. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim (Terj. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8), Ibnu Katsir.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Pernak-Pernik Seputar Wudhu

Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Menyentuh Lawan Jenis Pembatal Wudhu?

Kehidupan yang diatur syari’at, terkadang menjadi terbolak-balik dikarenakan tidak mengilmui tentang syari’at itu sendiri. Salah satunya, seorang pria begitu mudahnya bersentuh dan menyentuh wanita di berbagai waktu dan tempat, namun ketika saat berwudhu, seakan-akan lebih baik ditancapkan besi daripada menyentuh wanita karena dianggap dapat membatalkan wudhu.

Tahukah engkau saudariku, ternyata ada perbedaan di antara ulama, apakah menyentuh lawan jenis termasuk hal yang membatalkan wudhu. Insya Allah, pendapat yang lebih kuat adalah tidak membatalkan wudhu. Adapun maksud firman Allah dalam surat Al-Maidah yang berbunyi

“Atau kalian menyentuh wanita…” (Qs. Al-Maidah:6)

Maksud menyentuh perempuan pada ayat tersebut adalah bersetubuh sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan sekelompok ulama yang lain. Dan hal ini juga dikuatkan oleh perbuatan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang pernah mencium salah seorang istri beliau kemudian shalat tanpa kembali berwudhu. (Shahih Tirmidzi)

Namun, hal ini bukan berarti kita boleh menyentuh lawan jenis (yang bukan mahrom) seenaknya saja. Karena hukum pembatal wudhu dan menyentuh lawan jenis adalah hukum yang berbeda.Jika seseorang menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom, tetap mendapat dosa berdasarkan banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Jadi sekali lagi bedakanlah dua hal ini.

Urutan Wudhu

Urut-urutan wudhu yang kita ketahui tentu telah kita hafal dan telah kita laksanakan. Dimulai dari membasuh tangan, kemudian berkumur dan istinsyaq sampai diakhiri dengan membasuh kaki kanan dan kiri.

Tahukah engkau saudariku, hukum tertib urut dalam berwudhu sebagaimana lazim kita ketahui ternyata tidak wajib. Ternyata Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melakukan wudhu dengan urutan yang berbeda. Sebagaimana diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib yang berkata,

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah dibawakan air wudhu kemudian berwudhu membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian membasuh wajahnya 3 kali, kemudian membasuh kedua tangannya 3 kali, kemudian kumur-kumur dan mengeluarkan air yang telah dimasukkan ke dalam hidung 3 kali, kemudian mengusap kepalanya dan dua telinganya.” (Shahih. HR. Abu Dawud)

Namun, lebih utama jika kita melakukannya secara urut karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam biasa melakukannya secara urut.

Membasuh Ujung/Sebagian Rambut

Tentu sering kita lihat, baik di tempat umum, atau dari tayangan televisi ketika adzan maghrib dikumandangkan dan terlihat adegan-adegan orang mengambil wudhu. Salah satu di antaranya adalah memercikkan rambut ke ujung rambut sampai tiga kali.

Tahukah engkau saudariku, dalam ayat Al-Quran surat Al-Maidah, perintahnya adalah membasuh kepala. Dan dalam praktek wudhu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pun, mencontohkanya dengan membasuh seluruh kepala dari depan sampai belakang kemudian dibalikkan lagi ke depan.

Ada beberapa orang yang berpendapat bolehnya mengusap sebagian rambut dengan dalil dari Mughirah bin Syu’bah yang berkata,

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berwudhu, beliau mengusap imamah (surban kepala). Secara kebetulan rambut beliau di bagian depan keluar dan beliau mengusap seluruh imamahnya.”

Tahukah engkau saudariku, dalil ini bahkan menguatkan wajibnya mengusap seluruh bagian kepala, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengusap seluruh imamahnya sampai ke belakang kemudian mengembalikannya lagi. Jika hanya sebagian kepala saja yang boleh, maka mengapa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengusap rambut di bagian depan saja? Cobalah direnungkan hal ini wahai saudariku.

Adapun menjadikan dalil di atas sebagai rukhsoh maka diperbolehkan, yaitu diperbolehkan bagi wanita yang sedang mengenakan jilbabnya cukup mengusapkan seukuran kepala. (hal ini masuk ke dalam pembahasan mengusap khuf)

Haruskah 3 Kali?

Syari’at Islam memang sangat sempurna. Bayangkan jika kita dikejar-kejar waktu keberangkatan pesawat. Kemudian kita wajib melaksanakan segala hal secara sempurna dan diulang 3 kali selama berwudhu, kemudian disambung dengan shalat. Atau ketika kita mendapati waktu shalat yang tinggal sedikit dikarenakan udzur syar’i? Rasanya jadi ingin menangis di tengah-tengah wudhu tersebut bukan?

Tahukah engkau saudariku, syari’at Islam memang sempurna dan mengandung banyak kemudahan. Ternyata Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berwudhu dengan pembasuhan sebanyak 1 kali dan pernah pula dengan pengulangan pembasuhan sebanyak 2 kali. Hal ini diceritakan oleh sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang sangat pemalu yaitu Utsman bin Affan radhiallahu’anhu,

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah berwudhu’ satu kali satu kali dan dua kali dua kali.” (Hasan Shahih. HR. Abu Daud & Tirmidzi)

Hal ini menunjukkan pengulangan wudhu sebanyak 3 kali adalah sunnah. Sebaliknya, untuk mengusap bagian kepala dan telinga – yang biasanya diusap sekali- disunnahkan untuk mengusapnya sesekali sebanyak 3 kali. Sebagaimana ditunjukkan oleh Utsman bin Affan radhiallahu’anhu ketika ia berwudhu dan mengusap kepalanya tiga kali, kemudian ia berkata,

“Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bewudhu’ begini. “(Hasan Shahih. HR. Abu Daud)

Wudhu yang Sempurna

Tahukah engkau saudariku, ukuran kesempurnaan wudhu adalah seperti apa yang dicontohkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Adapun memperlama wudhu, berlebihan dalam penggunaan air dan melebihkan pembasuhan pada bagian-bagian anggota wudhu bukanlah suatu kesempurnaan wudhu. Di sisi lain kita juga tidak diperbolehkan meremehkan pembasuhan anggota-angota wudhu. Sebagaimana dalam hadits yang diceritakan oleh Khalid bin Ma’dan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki yang di punggung kakinya terdapat bagian yang tidak terkena wudhu sebesar uang dirham, maka Rasulullah shallallahu’alaih wa sallam memerintahkannya untuk mengulang wudhu’ dan shalatnya. (Shahih. HR. Abu Daud)

Maraji’:

  1. Al Wajiz. Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi. Pustaka As-Sunnah. Cet. 2
  2. Thaharah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Media Hidayah. Cet 1 2004
  3. Catatan Kajian Al Wajiz bersama Ustadz Muslam 15 Maret 2004

***

Artikel www.muslimah.or.id

Dilema Cinta Dalam Logika Asmara (Bag. 02)

7. Bertawakkal dan ridha terhadap takdir Allah bagaimanapun keadaannya

Jodoh termasuk rezeki dari Allah, dan penetapannya merupakan bagian dari takdir Allah. Takdir makhluk yang berada di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana tidak akan pernah bisa berubah. Oleh karena itu, kalau memang sudah ditakdirkan untuk berjodoh, meskipun terpisah jarak dan waktu, pada akhirnya akan dipertemukan dan dipersatukan juga dengan tali pernikahan. Jodoh tak kan lari ke mana, ibarat tak akan lari gunung dikejar. Begitu juga sebaliknya, jika bukit telah didaki dan laut pun diseberangi, bila tidak berjodoh, tidak akan pernah bisa bersatu dalam mahligai pernikahan.

Kewajiban hamba mengenai takdir Allah ini adalah berusaha, berdo’a untuk mencapai yang kita inginkan, lalu bertawakkal, sabar dan ridha atas segala hal yang telah Allah tetapkan bagi diri kita.

وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“…Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.”
(Qs. Ibrahim: 11)

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“…Dan bertawakkallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Ma’idah: 23)

Banyak orang yang salah kaprah memahami hakikat tawakkal. Mereka mengira bahwa pasrah begitu saja dan “nrimo ing pandum” (menerima segala sesuatu yang telah ditetapkan) tanpa adanya usaha adalah wujud tawakkal yang benar. Sikap yang demikian keliru. Tawakkal sama sekali tidak menafikan adanya usaha hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berusaha dahulu baru kemudian bertawakkal.

حَدَّثَنَا المُغِيرَةُ بْنُ أَبِي قُرَّةَ السَّدُوسِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ، أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: «اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ»

Al-Mughirah ibn Abi Qurrah As-Sadusi mengabarkan kepada kami, “Saya mendengar Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah saya ikat (tambatkan) unta itu lalu saya bertawakkal atau saya lepaskan unta itu lalu saya bertawakkal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Ikatlah unta tersebut, lalu bertawakallah.” (HR.Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam kitab Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-Islam )

Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari hadits ini?
Bahwa sebelum kita bertawakkal, kita harus menempuh sebab yakni dengan berusaha (di dalam hadits dicontohkan dengan mengikat unta) terlebih dahulu, baru kemudian kita bertawakkal.

Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua jenis pondasi dalam tawakkal:
1. Adanya usaha yang sungguh – sungguh
2. Adanya penyandaran dan pasrah diri hanya kepada Allah setelah berusaha

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya salah seorang dari kamu, penciptaannya telah dihimpun di perut ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Kemudian, diutuslah malaikat kepadanya, meniupkan ruh kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal: menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah ia celaka atau bahagia…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal yang perlu diperhatikan di sini menyikapi takdir adalah:
Takdir manusia memang telah ditetapkan di Al-Lauh Al-Mahfuzh dan tidak akan pernah berubah. Adapun berkenaan dengan ketentuan takdir yang terdapat dalam catatan malaikat, maka masih dapat berubah sesuai dengan amalan hamba. Manusia hanya diperintahkan untuk berusaha (disertai dengan berdoa dan bertawakkal tentunya) agar manusia dipermudah kepada apa yang telah ditakdirkan baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah usaha mencari rezeki, karena jiwa tidak akan mati sampai sempurna rezekinya walaupun kadang agak tersendat –sendat. Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mengusahakannya, ambillah yang halal dan buanglah yang haram.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Ibnu Majah no.1741)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap orang yang berbuat telah dimudahkan untuk melakukan perbuatan (yang telah ditakdirkan baginya -pen).” (HR. Muslim, bab Al-Qadar, no.2648)

Manusia hanya bisa berusaha, sedangkan Allah lah Yang Maha Kuasa. Siapapun yang didapat nantinya merupakan anugrah terbaik dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka bersyukurlah…meskipun kenyataan yang didapati merupakan hal yang kurang disukai.

…فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“…Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak…” (Qs. An–Nisa’: 19)

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata,

من ملأ قلبه من الرضى بالقدر : ملأ الله صدره غنى وأمنا وقناعة وفرغ قلبه لمحبته والإنابة إليه والتوكل عليه

“Barangsiapa yang memenuhi hatinya dengan ridha kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kecukupan, rasa aman, dan qana’ah, serta mengosongkan hati orang tersebut untuk mencintaiNya, kembali kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan Allah [4], dan bertawakkal kepadaNya.” (Madarij As-Salikin)

Bagaimana jika seseorang sudah berusaha keras menjadi shalih/shalihah, namun ternyata pasangan hidupnya jauh dari ketaatan dan standar idaman? Apakah Allah menyalahi janjinya bahwa pria shalih akan mendapat wanita shalihah? Tidak! Dan apakah menghadapi kenyataan itu, lalu kita menghabiskan waktu kita dengan muka bermuram durja? Sedih, kecewa, putus asa…atau malah ingin segera mengakhiri perjalanan bahtera rumah tangga?? Tentu tidak! Taruhlah jika seseorang itu sudah benar dalam berusaha dan berdoa, tapi nyatanya dia mendapat pasangan yang justru “berbeda derajat” keshalihan/keshalihahannya, jauh panggang daripada api, ada dua hal yang bisa dirunut di sini:

• Allah hendak menguji dia melalui pasangan hidupnya. Siapa tahu justru dirinya yang menjadi perantara pasangannya untuk kembali mengenal kebenaran. Siapa pula yang tahu bahwa kesabaran, dakwah, dan didikan yang dilakukan bagi pasangannya, justru menjadi ladang pahala yang bisa mempermudah dia meretas jalan menuju ke FirdausNya. Pasti ada banyak hikmah yang terkandung dalam segala takdir yang Allah tetapkan, namun terkadang manusia tidak mengetahui karena keterbatasan akal pikiran.

Satu hal yang pasti, Allah tidak selalu memberikan semua yang kita inginkan, namun Allah akan memberi pilihan terbaikNya dari yang kita perlukan.

Mari kita cermati kisah – kisah monumental yang terabadikan dalam KitabNya yang mulia tentang dua nabi shalih yakni Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam, niscaya kita akan mendapatkan ‘ibrah yang besar dari kisah tersebut. Mereka berdua memiliki istri yang disifati “berkhianat” kepada suaminya. Ada lagi kisah wanita mulia Asiyah bersuamikan thaghut semacam Fir’aun yang bahkan melakukan kekufuran nyata ketika dia berseru, “Ana rabbukum Al-A’la.” Siapa yang menyangsikan kredibilitas keshalihan dua nabi tersebut?
Siapa pula yang meragukan keshalihahan Asiyah?
Tentu tiap orang yang masih benar akalnya akan berujar bahwa mereka adalah sosok nabi yang shalih dan wanita shalihah. Akan tetapi, lihatlah ujian yang Allah berikan pada mereka dengan pasangan hidup yang mereka miliki.

• Adakalanya seseorang yang dikira shalih/shalihah, kurang sesuai dengan hakikat aslinya, karena hanya Allah lah yang tahu benar kadar ketakwaan yang tersembunyi di dalam hati tiap hambaNya.

هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Dia yang mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Qs. An-Najm: 32)

Contoh konkretnya begini, ada seorang yang dikenal shalih, dia pun senantiasa berdakwah, beramar makruf nahi munkar, namun ternyata di balik itu semua dia sering melanggar apa yang dia serukan dan bermudah-mudahan dalam melakukan dosa ketika dia bersendirian. Inilah yang dimaksud “shalih” menurut sangkaan manusia, tetapi sebenarnya bukan demikian hakikatnya. [5]

8. Bersabar ketika menanti pasangan

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat.” (Qs. Al-Baqarah: 153)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa cara terbaik untuk meminta pertolongan Allah dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpa (di antaranya ketika jodoh belum kunjung tiba) adalah dengan bersabar dan shalat.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini,
“…Sedangkan sabar dalam ayat ini ada dua macam, yaitu sabar dalam rangka meninggalkan berbagai perkara haram dan dosa; dan bersabar dalam menjalankan ketaatan dan ibadah. Bersabar bentuk yang kedua lebih banyak pahalanya, dan itulah sabar yang lebih dekat maksudnya untuk mendapatkan kemudahan. Adapun bentuk sabar yang ketiga adalah bersabar atas musibah dan kejadian yang menimpa. Sabar yang demikian merupakan suatu keharusan, sebagaimana keharusan beristighfar dari berbagai kesalahan.”

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Sabar ada dua bentuk: bersabar untuk Allah dengan menjalankan apa yang Dia cintai walaupun berat bagi jiwa dan badan. Dan bersabar untuk Allah dari segala yang Dia benci walaupun keinginan nafsu menentangnya. Siapa yang kondisinya seperti ini maka dia termasuk dari golongan orang-orang yang sabar yang akan selamat, insya Allah…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim lil Hafizh Ibn Katsir)

9. Optimis (Tafa’ul) dan berpikir positif

Optimis: [n] orang yg selalu berpengharapan (berpandangan) baik dl (dalam pen) menghadapi segala hal. [6]

Allah Subhanahu Ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai tafa’ul التَّفَاؤُلُ (optimisme) dan membenci tasya’um التَّشَاؤُمُ (pesimisme). Optimisme dapat ditumbuhkan dengan senantiasa berhusnuzhzhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan mempertinggi tawakkal dalam kehidupan sehari-hari.

قَالَ الْحَلِيْمِيُّ وَإِنَّمَا كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ الْفَأْلُ لِأَنَّ التَّشَاؤُمَ سُوءُ ظَنِّ بِاللَّهِ تَعَالَى بِغَيْرِ سَبَبٍ مُحَقَّقٍ وَالتَّفَاؤُلُ حُسْنُ ظَنٍّ بِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَأْمُورٌ بِحُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ حَالٍ

Al-Halimi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan cermin persangkaan buruk kepada Allah Ta’ala tanpa alasan yang jelas. Optimisme merupakan wujud persangkaan yang baik kepadaNya. Seorang mukmin diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi”. (Fathul Bari, hadits no. 5755, bab Al-Fa’l)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي …الحديث

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadapku…” (HR. Bukhari no. 7405)

قَوْلُهُ (يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي) أَيْ قَادِرٌ عَلَى أَنْ أَعْمَلَ بِهِ مَا ظَنَّ أَنِّي عَامِلٌ بِهِ

Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah berfirman, “Aku menurut persangkaan hambaKu terhadapKu.” yakni : Allah mampu berbuat sesuatu (merealisasikan suatu perbuatan) atas dasar persangkaan hambaNya bahwa Allah akan berbuat demikian.” (Fathul Bari, hadits no. 7405)

قَالَ الْقُرْطُبِيُّ في المفهم قيل معنى ظن عبد بِي ظَنُّ الْإِجَابَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَظَنُّ الْقَبُولِ عِنْدَ التَّوْبَةِ وَظَنُّ
الْمَغْفِرَةِ عِنْدَ الِاسْتِغْفَارِ وَظَنُّ الْمُجَازَاةِ عِنْدَ فِعْلِ الْعِبَادَةِ بِشُرُوطِهَا تَمَسُّكًا بِصَادِقِ وَعْدِهِ

Al-Qurthubi berkata di dalam kitab Al-Mufhim (Al-Mufhim li Ma Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim pen), “Ada yang mengatakan bahwa makna prasangka hambaKu terhadapKu adalah prasangka dalam hal pengabulan doa ketika memanjatkan doa, prasangka tentang diterimanya taubat ketika hamba bertaubat, prasangka mengenai adanya ampunan ketika hamba beristighfar, dan prasangka akan diberi pahala ketika melaksanakan ibadah beserta syarat-syaratnya dalam rangka berpegang teguh pada kebenaran janjiNya.” (Tuhfatul Ahwadzi, hadits no. 2496, bab Fi Husnizhzhan billahi Ta’ala)

Salah satu faidah yang terkandung di dalam hadits di atas adalah: anjuran berprasangka baik terhadap Allah, di dalam segala hal termasuk dalam hal keoptimisan bahwa doanya akan terkabul. Bukankah Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa yang bisa mewujudkan doa kita, jika memang Dia menghendakinya? Mewujudkan hal yang demikian adalah mudah bagi Allah. Jangankan hanya untuk mengabulkan doa kita, bahkan untuk penciptaan alam semesta seisinya serta berbagai jenis makhlukNya pun adalah hal yang mudah bagi Allah. Oleh karena itu, seorang mukmin sejati adalah orang yang berkepribadian mantap dan senantiasa berpikiran optimis jauh ke depan.

Eksperimen yang cukup dikenal untuk sedikit mengetahui apakah Anda seorang yang optimis ataukah pesimis, adalah dengan melihat gelas yang diisi air hingga setengah penuh. Seorang yang optimis akan berpandangan baik dan positif bahwa gelas ini setengah terisi. Akan tetapi, orang yang pesimis akan berpandangan bahwa gelas ini setengah kosong. Kalau demikian adanya, Anda termasuk orang yang seperti apa?

10. Berhati – hati dan menjaga diri

Sudah maklum kiranya bahwa masa pra nikah adalah masa yang rentan godaan bagi kedua calon pasangan. Apalagi jika keduanya merasa begitu memiliki banyak kesamaan dan mulai ada ketertarikan. Pada masa ini sangat mungkin bersemi benih rasa suka, yang berbunga rindu dan berbuah cinta. Amat mungkin pula terbuka peluang untuk “berpacaran gaya terselubung” ala aktivis dakwah. Mengapa dikatakan terselubung? Karena gaya interaksi semacam ini memang terkamuflasekan oleh suatu dalih. Contohnya: alasan “perhatian kepada saudara atau saudari di jalan Allah” atau malah yang dikemas secara apik dan menarik atas nama dakwah. ”Sayang…sudah hafalan Qur’an belum hari ini? Tadi belajar apa saja? Pematerinya ustadz siapa?” Si pujaan hati pun -misalkan- menimpali, “tadi datang gak ke kajian? Sudah hafalan hadits belum hari ini?”. [Silahkan baca artikel menarik: Pacaran Terselubung Via Hp dan Chatting red].

Wal’iyadzubillah…Semoga kita semua dijauhkan dari hal – hal yang seperti itu. Panggilan atau ungkapan mesra seperti: sayang, cinta, rindu sangatlah tidak beradab jika dilontarkan pada wanita atau pria yang belum dihalalkan bagi kita. Apalagi jika perkataan mesra itu dibalut dengan sajak rayuan cinta yang mengundang nafsu.

Cinta…kau begitu manis terasa
Kau indah nan sempurna
Kau hidupku, kau sayangku, kau pengantinku di surgaNya
Kekasih…kau yang kupuja dan kucinta hingga ajal tiba

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…

Dari kejadian itu, cukuplah kiranya penulis sampaikan beberapa point yang patut diperhatikan oleh siapapun yang sedang menjalani stase pra nikah,

• Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs. Al-Isra’: 32)

Jenis huruf “la” pada ayat tersebut adalah la An-nahiyyah (لا الناهية) yang berarti “jangan” dan bermakna larangan. Dari ayat ini diambil faidah hukum mengenai haramnya mendekati zina dalam bentuk apapun. Karena pada setiap kata yang berbentuk larangan, terkandung hukum asal: HARAMnya perbuatan tersebut, kecuali ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya yakni haram. Oleh karena itu, salah satu hikmah mengapa Allah berfirman, “Janganlah kamu mendekati zina”, dan bukan langsung berfirman, “Janganlah kamu berzina” adalah adanya cakupan larangan yang menunjukkan haramnya mendekati segala macam sarana yang bisa menghantarkan kepada perbuatan zina -termasuk pacaran sebelum ada ikatan pernikahan-.

..والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه فإن: ” من حام حول الحمى يوشك أن يقع فيه ” خصوصا هذا الأمر الذي في كثير من النفوس أقوى داع إليه…

“..dan larangan mendekati zina lebih dalam (mengena) maknanya daripada larangan berbuat zina semata, karena larangan mendekati zina mencakup larangan dari segala permulaan dan dari seluruh faktor pendorong perbuatan zina. Barangsiapa yang menggembala (ternaknya) di sekitar pagar daerah terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamnya. Terlebih dalam perkara zina ini, yang merupakan seruan paling kuat bagi kebanyakan jiwa…” (Tafsir As-Sa’di)

Mendekati zina saja sudah merupakan hal yang haram, apalagi melakukannya. Tidak usah terlalu jauh membayangkan zina hanyalah terbatas pada bersatunya dua genital –maaf-, namun zina di sini meliputi lingkup yang lebih kompleks.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Telah ditetapkan bagi Anak Adam bahwa ia dapat melakukan zina, itu bukanlah suatu hal yang mustahil: Kedua mata zinanya adalah melihat. Kedua telinga zinanya adalah mendengar. Zina lisan adalah ucapan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah langkah. Zina hati berkeinginan dan berangan – angan, lalu kemaluanlah yang bisa membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Muslim)

• Ada salah satu kaidah fiqhiyyah yang berbunyi : “Man ista’jala syaian qabla awanihi ‘uqiba bi hirmanihi”

مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْءً قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ

(Barangsiapa yang tergesa – gesa terhadap sesuatu sebelum waktunya, akan diberi hukuman -berupa- tidak boleh mendapatkannya). Apakah pelaku tidak takut jika Allah merenggut kenikmatan pernikahannya, hanya karena dia tergesa – gesa mencoba kenikmatan semu sesaat untuk berhubungan “gelap” dengan lawan jenis?

Pernikahan adalah ikatan sakral yang suci. Tiada pantas ikatan suci tersebut dinodai oleh “pacaran” pra nikah yang sangat mungkin menyebabkan hilangnya barakah pernikahan, wal’iyadzubillah.

Penuntut ilmu agama hanyalah manusia biasa, yang kadang tergelincir dalam dosa. Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa. Untuk itulah perlu adanya komitmen dari kedua belah pihak untuk sama – sama teguh menjaga hati, agar tidak terkontaminasi virus merah jambu sebelum saatnya tiba nanti, Insya Allah. Ikhwan ataupun akhawat mungkin pernah terjerumus sesekali. Ketergelinciran ini tidak lalu mengeluarkan mereka dari jajaran ahlussunnah, sehingga kita bisa dengan semena-mena menghakimi, memandang rendah seolah mereka kriminal agamis terkeji sepanjang masa, plus memberikan serentetan tudingan label bahwa mereka bukan orang yang bertakwa dan lain sebagainya [memangnya kita orang yang paling suci sedunia dan tidak pernah melakukan dosa??].

Orang yang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun orang yang jika melakukan kesalahan segera bertaubat dan kembali pada kebenaran. Statemen “Ikhwan dan akhawat hanyalah manusia biasa, yang terkadang tergelincir dalam dosa. Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa…” bukan berarti bentuk pembelaan dan perlindungan subyektif penulis terhadap ketergelinciran mereka, namun di sini penulis sedang mengajak Anda semua untuk lebih bijak dan arif menyikapi kesalahan yang dilakukan oknum “berpacaran terselubung” dari kalangan penuntut ilmu, dalam memberi peringatan dan meluruskan ketergelinciran mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua Anak Adam (pasti pernah) melakukan kesalahan. Dan sebaik – baiknya orang yang melakukan kesalahan, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’)

Satu hal yang perlu diingat bahwa calon pasangan belum tentu menjadi pasangan. Masih banyak kemungkinan – kemungkinan yang bisa terjadi di luar batas kuasa makhluk. Sangat mungkin terjadi suatu hal yang akhirnya berakibat putusnya proses antara calon pasangan. Bermula dari intensnya hubungan itu, besar kemungkinan tersisa seonggok luka, secercah asa, sekeping rasa, bahkan sebentuk cinta yang terlanjur bersemayam di jiwa. Maka dari itu, berhati – hatilah agar jangan sampai perasaan cinta begitu mengakar kuat di dalam dada, hingga bisa mengalahkan ilmu dan akal logika, yang bisa berujung pada kondisi “cinta buta”.

Manakala cinta sang pecinta sudah demikian mendalam pada orang yang dicinta, akan sangat susah melupakannya. Pada akhirnya hanya menjadi sebuah dilema bagi sang pecinta yang sedang dimabuk asmara, apakah dia rela memutuskan proses dengan kekasih hatinya atau tidak. Kenapa harus menjadi dilema dalam dirinya? Karena ternyata cintanya berseberangan dengan ilmu dan logika. Dilema cinta itu hanya ada jika kita menimbangnya dengan logika asmara (logika orang yang kasmaran). Akan tetapi, jika kita menimbangnya dengan syari’at dan logika yang sehat, maka tidak akan ada dilema. Apa yang harus terjadi, maka terjadilah. Andaikata proses lebih baik harus berhenti, maka berhentilah. Andaikata proses berlanjut, maka suatu hari nanti adalah hari H…..Insya Allah…..

11. Melejitkan potensi diri guna menutup kekurangan

Masing-masing pribadi itu unik dan membawa unikum yang berbeda antara satu dengan lainnya, lengkap dengan paket kelebihan dan kekurangannya. Suatu hal yang selaras dengan fitrah, ketika di satu sisi seseorang dianugrahi banyak kelebihan, namun di sisi lain ada orang yang dianggap punya lebih banyak kekurangan. Adanya kelebihan merupakan anugrah yang patut disyukuri, bukan untuk berbangga diri, dan adanya kekurangan bukanlah hal yang harus ditangisi. Oleh karena itulah, seseorang hendaknya bisa berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan menggali dan melejitkan potensi terpendam yang ada dalam diri.

Tiap diri seyogyanya mengenal dan menganalisa segi positif dan negatif yang dikaruniakan padanya. Segi positif itu, diselaraskan dengan syariat untuk membangun keistimewaan, kekuatan, dan kecantikan dalam diri (inner beauty) guna menutup kekurangan yang dia miliki, sehingga orang tersebut nantinya akan memiliki mizah الميزة (ciri khas yang bisa membedakan antara dirinya dengan orang lain). Adapun segi negatifnya, secara perlahan-lahan dikurangi dan ditutupi. Tidak usah minder ataupun rendah diri jika merasa hanyalah orang yang “biasa saja” dan memiliki social value (nilai sosial) yang standar lagi rata-rata saja. Bisa jadi jika orang yang “biasa saja” itu mengoptimalkan segala aset yang dimiliki, dan berusaha menjalani penempaan diri laksana proses pengasahan permata, bukan hal yang mustahil andaikata justru hasil akhir tempaan itu kemilau pesonanya melebihi orang yang memang terlahir “lebih dari standar rata-rata“.

Berbicara sedikit mengenai permata, proses pengasahan bahan mentah permata dari batuan “kusam” menjadi permata yang berkilau, bisa dianalogikan dengan keadaan wanita yang biasa saja namun menjadi luar biasa, karena dia berusaha melejitkan potensi diri dan melebarkan “jangkauan sayap” kharismanya.

Pada umumnya, bahan mentah permata hanyalah berupa batuan biasa yang berwarna, kecuali intan yang kebanyakan transparan (meskipun intan pun sebenarnya beraneka macam warnanya). Orang awam yang menemukan bebatuan seperti ini bisa jadi membuangnya begitu saja, lantaran dianggap batuan biasa. Lihatlah bedanya ketika batu ini mengalami penempaan dan proses pengasahan. Subhanallah! Batu “kusam” ini berubah menjadi batu mulia yang kilaunya sungguh memukau mata.

Kalaulah ada yang masih berkecil hati karena harta, rupa, ataupun hal yang menyangkut dunia…janganlah merasa rendah diri…masih banyak orang yang lebih banyak celanya dari kita. Syukurilah, berbahagialah dengan apa yang dimiliki, sabar serta ridha atas segala yang Allah karuniakan bagi diri kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang lain yang lebih besar karunianya dalam harta dan rupa, maka lihatlah orang yang lebih rendah dari apa yang telah dikaruniakan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 6490 dan Muslim no. 2963)

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim hal 1987 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta yang kalian miliki, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan yang kalian lakukan.”

Dan di dalam riwayat Imam Muslim yang lain:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat badan dan bentuk kalian, akan tetapi Dia melihat hati – hati kalian.”

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة

“Jikalau engkau melihat ada seorang yang mengunggulimu dalam urusan dunia, maka unggulilah dia dalam urusan akhirat.” (Lathaif Al-Ma’arif)

Kita mungkin seringkali menginginkan pasangan sebagaimana yang orang lain dapatkan, dan menganggap rumput tetangga lebih hijau, atau menganggap buah di pekarangan tetangga lebih ranum. Akan tetapi, ingatlah suatu hal bahwa di atas langit tentu masih ada langit lagi. Lalu ingatlah masa awal ketika kita telah menjatuhkan pilihan untuk menikahi si dia, pasti ada alasan kita memilihnya. Peganglah alasan itu dan simpan baik – baik dalam ingatan dan hati kita.

“Biarlah orang berkata, diriku ibarat mendapat sebongkah batu hitam yang kurang berharga. Akan tetapi, bagiku engkau laksana permata yang begitu indah dipandang mata…
karena aku melihatmu bukan hanya dengan dua mata yang berada di kepala, namun dengan mata hati yang bersemayam di dalam jiwa…”

Bagi yang masih merasa ragu dan minder untuk menikah, berusahalah, berdo’a, bertawakkal…dan kuatkan tekad dalam hati, “saya akan segera menikah! Insya Allah”

Niscaya nikmatnya pernikahan bisa terwujud menjadi kenyataan, yang terukir dalam kenangan, bukan hanya impian yang terbingkai indah dalam angan.

Penulis pun berharap…semoga bias indah pelangi cinta segera mewarnai pernikahan Anda bersama pasangan hidup tercinta.


[4] Penulis mengambil pengertian inabah secara istilah dari kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalaatsah Ibn ‘Utsaimin

[5] Dua point tentang kemungkinan itu diperoleh dari faidah salah satu kajian yang bertema rumah tangga, yang diisi oleh Ustadz Firanda hafizhahullah. Akan tetapi, penulis lupa judul kajian secara tepat. Jika penulis tidak keliru mengingat judul kajiannya, kajian tersebut berjudul “Suami Idaman Istri Pilihan” (yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama). Penulis hanya mengingat dengan jelas faidahnya saja, namun lupa judul kajiannya. Wallahu A’lam.

[6] http://kamusbahasaindonesia.org/optimis dan http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php

dari artikel www.muslimah.or.id