Selasa, 16 Oktober 2012

Delapan Tanda-Tanda Keikhlasan

Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.
Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.
Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).
Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)
Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.
Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.
Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.
Delapan Tanda Keikhlasan
Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:
1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”
Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.
2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan
Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia  merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.
Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).
3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan
Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)
4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit
Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.
5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia
Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.
6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah
Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan
Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”
8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan
Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.

Dikutip dari www.http://putramelayu.web.id/2011/12/tanda-tanda-keikhlasan/ Luasnya Semesta, Tak Sesempit Hati dan Fikiran Manusia, dari tulisan Mochamad Bugi dalam situs Dakwatuna

Jumat, 05 Oktober 2012

TANYA.......?

Malam menyapaku waktu ini
Mengusik pikiran yang tak mau lelap
Aku terusik hayal yang terbang melayang
menghujam hati yang bernanah

Hening dan dingin saat ini
menemani aku dikegelapan
benarkah alamku hanya disini
terlingkar kabut mengabur pandang

Bintang berkedip menyapaku
memberi terang dipekatnya malam
melindungi dari temaram
meranggas masuk kehamparan kabut

@@@@iyangta@@@@@

KOBARAN HATI

Melati akan terasa harum dan wangi bila masig segar
Melati akan indah dipandang bila masih utuh dan tak layu
Alangkah mempesonanya melati dalam dahannya
*****
Sekeping harap selaluku genggam
sebersit rindu slalu kusimpan
seteguk pahit telah kurasa
namun cinta masih adakah didada
namun setia selalu kurasa
tapi apakah cinta masih disana
masihkah ada cinta
******
Tetes air mata tak dapat menghapus sakit ini
Mata tak lagi bisa mengeluarkan butir bening
karena hati....batin.... dan jiwa tak lagi tersimpan semua
semua mati karena luka yang tak kunjung padam
******
Melati lambang kasih sayang
Melati lambang ketulusan hati dan
melati lambang ungkapan hati...cinta...dan rindu...melati bagian kesempurnaan hidupku

@@@@iyangta@@@@@@

Kamis, 04 Oktober 2012

Kemuliaan Abu Bakar Ash Shiddiq

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab Fadha’il ash-Shahabah [Fath al-Bari Juz 7 hal. 15] dengan judul ‘Bab; Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tutuplah pintu-pintu -di dinding masjid- kecuali pintu Abu Bakar.” Di dalamnya beliau menyebutkan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak penuturan Imam Bukhari tersebut.
Imam Bukhari berkata:

Abdullah bin Muhammad menuturkan kepada kami. [Dia berkata]: Abu ‘Amir menuturkan kepada kami. Dia berkata: Fulaih menuturkan kepada kami. Dia berkata: Salim Abu Nazhar menuturkan kepadaku dari Busr bin Sa’id dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang-orang (para sahabat). Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah memberikan tawaran kepada seorang hamba; antara dunia dengan apa yang ada di sisi-Nya. Ternyata hamba itu lebih memilih apa yang ada di sisi Allah.”
Beliau -Abu Sa’id- berkata: “Abu Bakar pun menangis. Kami merasa heran karena tangisannya. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan ada seorang hamba yang diberikan tawaran. Ternyata yang dimaksud hamba yang diberikan tawaran itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang, Abu Bakar adalah orang yang paling berilmu di antara kami.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling berjasa kepadaku dengan ikatan persahabatan dan dukungan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengangkat seorang Khalil -kekasih terdekat- selain Rabb-ku niscaya akan aku jadikan Abu Bakar sebagai Khalil-ku. Namun, cukuplah -antara aku dengan Abu Bakar- ikatan persaudaraan dan saling mencintai karena Islam. Dan tidak boleh ada satu pun pintu yang tersisa di [dinding] masjid ini kecuali pintu Abu Bakar.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, di Kitab Fadha’il ash-Shahabah (lihat Syarh Nawawi Juz 8 hal. 7-8)
Berikut ini pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas. Kami sarikan dari keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi. Semoga bermanfaat.

Hadits ini mengandung keistimewaan yang sangat jelas pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu yang tidak ditandingi oleh siapapun -di antara para sahabat-. Hal itu disebabkan beliau berhak mendapat predikat Khalil -kekasih terdekat- bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalaulah bukan karena faktor penghalang yang disebutkan oleh Nabi di atas (lihat Fath al-Bari [7/17 dan 19])
Abu Bakar radhiyallahu’anhu mengetahui bahwa seorang hamba yang diberikan tawaran tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu beliau pun menangis karena sedih akan berpisah dengannya, terputusnya wahyu, dan akibat lain yang akan muncul setelahnya (lihat Syarh Nawawi [8/7])
Hadits ini menunjukkan bahwa semestinya masjid dijaga agar tidak menjadi seperti jalan tempat berlalu-lalangnya manusia kecuali dalam kondisi darurat yang sangat penting (lihat Fath al-Bari [7/19])
Para ulama itu memiliki pemahaman yang bertingkat-tingkat. Setiap orang yang lebih tinggi pemahamannya maka ia layak untuk disebut sebagai a’lam (orang yang lebih tahu) (lihat Fath al-Bari [7/19])
Hadits ini mengandung motivasi untuk lebih memilih pahala akhirat daripada perkara-perkara dunia (lihat Fath al-Bari [7/19])
Hendaknya seorang berterima kasih kepada orang lain yang telah berbuat baik kepadanya dan menyebutkan keutamaannya (lihat Fath al-Bari [7/19])

Saudaraku… Kita bisa melihat bersama bagaimana zuhudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap dunia. Kecintaan kepada akhirat dan kerinduan untuk bertemu dengan Allah jauh lebih beliau utamakan daripada kesenangan dunia.
Kita juga bisa melihat bersama bagaimana kedalaman ilmu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ilmu itupun terserap dengan cepat ke dalam hatinya dan membuat air matanya meleleh. Beliau sangat menyadari bahwa kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah para sahabat laksana lentera yang menerangi perjalanan hidup mereka. Nikmat hidayah yang dicurahkan kepada mereka melalui bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah di atas segala-galanya.
Kita pun bisa menarik kesimpulan bahwa dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan dengan bantuan dan dukungan para sahabatnya. Beliau -dengan kedudukan beliau yang sangat agung- tidaklah berdakwah sendirian. Terbukti pengakuan beliau terhadap jasa-jasa Abu Bakar yang sangat besar kepadanya. Tentu saja yang beliau maksud bukan semata-mata bantuan Abu Bakar untuk kepentingan pribadi beliau, akan tetapi demi kemaslahatan umat yang itu tak lain adalah dalam rangka dakwah dan berjihad di jalan Allah.
Hadits ini juga menunjukkan betapa agungnya kedudukan Abu Bakar di mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melebihi sahabat-sahabat yang lain. Sehingga sangat keliru pemahaman sekte Syi’ah yang menjelek-jelekkan bahkan sampai mengkafirkan beliau.
Hadits ini pun menggambarkan keluhuran akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para sahabatnya. Bagaimana beliau dengan tanpa malu-malu mengakui keutamaan Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Padahal, kedudukan Abu Bakar tentu saja berada di bawah kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun demikian, beliau menyebutkan jasanya dan menyanjungnya di hadapan para sahabat yang lain.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa memuji orang di hadapannya diperbolehkan selama orang tersebut tidak dikhawatirkan ujub karenanya. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan Abu Bakar dari sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memujinya di hadapannya dan di hadapan para sahabat yang lain. Hal itu mengisyaratkan kepada kita bahwa Abu Bakar bukanlah termasuk kategori orang yang dikhawatirkan merasa ujub setelah mendengar pujian tersebut.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa kecintaan yang terpendam di dalam hati pasti akan membuahkan pengaruh pada gerak-gerik fisik manusia. Kecintaan yang sangat dalam pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar pun tampak dari ucapan dan perbuatan beliau. Kalau kita mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka konsekuensinya kita pun mencintai orang yang beliau cintai. Dan di antara orang yang beliau cintai, bahkan yang paling beliau cintai adalah Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Kecintaan yang berlandaskan Islam dan persaudaraan seagama. Lantas ajaran apakah yang justru mengajarkan kita untuk membenci orang-orang yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau bukan ajaran kesesatan?!

 Sumber Kemuliaan Abu Bakar Ash Shiddiq | Kami Muslim Sejati

Rabu, 03 Oktober 2012

Candi Borobudur

Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang (deket banget ma rumah ortu) dan menariknya candi ini dikelilingi oleh perbukitan yang disebut bukit menoreh yang kalau di amati rangkaian perbukitan itu membentuk sesosok manusia sedang tertidur. Kata penduduk setempat sih dia penunggu atau penjaga candi borobudur dan sekitarnya...hemmmm Wallahu a’lam. Utuk lebih lengkapnya yuk simak  ceritanya;



Nama Borobudur berasal dari gabungan kata Boro dan Budur, Boro berasal dari kata Sangsekerta berarti “ Vihara” yang berarti komplek Candi dan Bihara atau juga asrama ( Menurut Purwacaraka Dan Stuten Herm ) sedangkan Budur dalam bahasa Bali “ Bedudur” yang artinya di Atas. Jadi nama Borobudur berarti asrama atau bahasa ( Komplek Candi ) yang terletak di atas bukit

Waktu didirikannya Candi Borobudur tidaklah dapat diketahui dengan pasti namun suatu perkiraan dapat di peroleh dengan tulisan singkat yang di pahatkan di atas pigura relief kaki asli Candi Borobudur ( Karwa Wibhangga ) menunjukan huruf sejenis dengan yang di dapatkan dari prasati di akhir abad ke – 8 sampai awal abad ke – 9 dari bukti – bukti tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa Candi Borobudur di dirikan sekitar tahun 800 M.

Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 sebelum masehi atau abad ke 9 . Borobudur dibangun oleh pengikut Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Dinasti Dinasti. Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti dinasti. Pendiri Candi Borobudur, Raja Samaratungga dari atau dinasti dinasti dinasti. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar 824 AD dan selesai sekitar 900 Masehi pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani putri Samaratungga. Sementara arsitek yang membantu membangun candi ini untuk cerita turun-temurun bernama Gunadharma.

Borobudur kata-kata sendiri berdasarkan bukti tertulis pertama yang ditulis oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, yang memberikan nama candi ini. Tidak ada bukti tertulis bahwa orang tua yang memberikan nama ini Candi Borobudur. Hanya satu dokumen tertua yang menunjukkan adanya candi ini Nagarakretagama buku yang ditulis oleh MPU tahun 1365 Prapanca Buku tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan sebagai tempat untuk meditasi Buddhis.

Arti dari "biara di pegunungan" nama Borobudur yang berasal dari kata "bara" (candi atau biara) dan "beduhur" (bukit atau tanah tinggi) di sansekerta. Oleh karena itu, sesuai dengan arti nama Borobudur, maka tempat ini sejak dahulu digunakan sebagai tempat ibadah Buddha.

Candi ini selama berabad-abad tidak lagi digunakan. Jadi, karena letusan gunung berapi, menutupi sebagian besar bangunan Borobudur tanah vulkanik. Selain itu, bangunan juga ditutupi dengan berbagai pepohonan dan semak belukar selama berabad-abad. Kemudian bangunan candi ini mulai terlupakan dalam waktu Islam datang ke Indonesia sekitar abad ke-15.

Pada tahun 1814, ketika Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles mendengar tentang penemuan benda arkeologi besar di desa Bumisegoro Kabupaten Magelang. Karena minat yang besar dalam sejarah Jawa, dan kemudian segera memerintahkan Raffles HC Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan itu berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

Cornelius dibantu oleh sekitar 200 orang jatuh pepohonan dan menyingkirkan semak yang menutupi bangunan raksasa. Karena bangunan sudah rapuh dan bisa runtuh, kemudian melaporkan kepada Kornelius penemuan Raffles berisi beberapa gambar. Sejak penemuannya, adalah Raffles bernama pria yang memulai pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh kawasan candi telah digali. Candi ini diadakan kembali di era kolonial Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1956 Pemerintah Indonesia meminta bantuan dari UNESCO untuk memeriksa kerusakan Borobudur. Jadi, pada tahun 1963. Dari keputusan Pemerintah Indonesia resmi untuk melaksanakan pemugaran Candi Borobudur oleh UNESCO ini namun dipulihkan hanya benar-benar mulai terjadi pada tanggal 10 Agustus 1973. Proses renovasi baru selesai pada tahun 1984. Sejak tahun 1991, ditunjuk Borobudur sebagai Dunia atau World Heritage Site oleh UNESCO.
Ini foto pertama kalinya Candi Borobudur ditemukan masih asli gitu...































dan ini Candi Borobudur yang sudah cantik








 

 
 

 

Sumber: Foto Borobudur Pertama Kali Ditemukan dan kumpulan kumpulan sejarah

MISTERI ANUNNAKI (ALIEN) DI MASA KEHIDUPAN RASULULLAH


Rasulullah pernah mengisyaratkan, tentang keberadaan sesosok manusia “Penghuni Langit”, yang bernama Uways (Uwais) Al Qorni.

Rasulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qorni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau, memandang kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dan Umar bin Khattab r.a. lalu bersabda : “Suatu saat apabila kalian bertemu dengan dia mintalah do’a dan istighfarnya, karena dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”

Uwais adalah seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, dengan kulitnya kemerah-merahan. Pemuda dari Yaman ini tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan menderita lumpuh. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing.

Mayoritas Ulama berpendapat, istilah “Penghuni Langit” yang disandang oleh Uwais, dikarenakan baktinya yang sangat luar biasa kepada ibunya.

Misteri Uwais, manusia langit dari Yaman

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah dan akhirnya bertemu dengan Umar ra dan Ali bin abi Thalib. Saat itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya.

Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah meninggal dunia. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang tak dikenal yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.

Demikian pula ketika masyarakat pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Dan Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika itu aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya. Lalu aku bermaksud kembali ke tempat penguburannya untuk memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat lagi adanya bekas kuburannya”. (Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang dalam satu pasukan, bersama Uwais al-Qorni di masa pemerintahan Umar Ibnu Khattab r.a.).

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.

Sumber : wikipedia.org
Manusia “Penghuni Langit” = Alien dari Planet Nibiru ?

Entah kebetulan atau tidak, ciri-ciri fisik Uways sangat mirip dengan ras Kaukasia, yang oleh beberapa kalangan dikatakan mewarisi ciri fisik bangsa Anunnaki, Alien dari Planet Nibiru. Meskipun Islam, tidak menolak kemungkinan adanya makhluk lain, di luar bumi. Namun tidak serta merta kita menyatakan, Uways sesungguhnya Alien, yang nyasar di bumi ini.

Benarkah Planet Nibiru, yang dihuni bangsa Anunnaki itu ada? Atau hanya cerita dongeng dari Bangsa Sumeria? Jika Uways adalah Alien, bagaimana ia bisa sampai ke Yaman? Apakah ia datang melalui pintu Wormhole? (Kunjungi : Identifikasi Fenomena Wormhole, menurut Al Qur’an?).

Ke-shahihan kisah Uways Al Qorni, juga harus diteliti lagi. Hal tersebut, dalam upaya untuk menghindari cerita-cerita dongeng bangsa Sumeria kuno, masuk ke dalam khasanah keilmuan umat muslim.

Andaikan semua kisah tentang Uways adalah sebuah fakta, penjelasan yang paling logis saat ini adalah, Uways Al Qorni adalah seorang keturunan bangsa Kaukasia, yang tinggal di negeri Yaman. Baktinya terhadap Sang Bunda, telah memberi kemuliaan kepada dirinya, digelari “Penghuni Langit” oleh Rasulullah.

WaLlahu a’lamu bishshawab
 

Selasa, 02 Oktober 2012

Menepis Kegalauan Hati Dikala Masih Harus Menanti

Si fulanah A mulai memikirkan desain tempat untuk resepsi pernikahannya beberapa bulan lagi. Fulanah B dengan berbinar-binar memilih baju pengantinnya di toko busana muslimah. Fulanah C asik mendaftar orang-orang yang akan diundang dalam resepsinya, fulanah D rajin baca buku-buku tentang pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, pendidikan anak dalam Islam, juga mendengarkan kajian, tanya ini dan itu ke ibu-ibu yang lebih senior, kemudian Fulanah E hingga Z semua sibuk dengan segala serba-serbi persiapan menjelang pernikahan.
Alhamdulillah…turut senang rasanya mendengar kabar fulanah A hingga Z sebentar lagi melepas status gadis mereka menuju mahligai pernikahan. Apalagi fulanah A berusaha mempersiapkan tempat resepsi dengan disain sedemikian rupa sehingga aman dari ikhtilat dan pandangan lawan jenis. Fulanah B memilih pakaian pengantin yang tetap sesuai dengan syarat-syarat pakaian muslimah atau setidaknya meminimalisir riasan meski perlu usaha keras untuk mendapat persetujuan baik dari orangtuanya maupun dari calon mertuanya. Fulanah C mengundang semua kerabat dan teman-teman yang sekiranya dapat diundang tanpa memilah-milih status sosial dan ekonomi mereka. Fulanah D berusaha keras mempelajari hal-hal yang harus dimengerti dan akan dijalaninya esok, walaupun selama ini tidak jarang dia mendapati pengetahuan tersebut baik melalui buku-buku, ceramah para ustadz, maupun obrolan dengan teman-teman yang shalih, tapi dia merasa perlu mengulang dan menggali kembali ilmu-ilmu tersebut. Fulanah F hingga Z, semua memberi inspirasi, juga menjadi bahan evaluasi diri, namun juga terkadang membuat hati jadi galau…
Termotivasi untuk menikah hingga kadar tertentu adalah suatu anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Menyadari bahwa pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
Berbesar hati dengan syari’at menikah dan tidak membencinya sebagai bentuk realisasi iman kita kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan kita termasuk golongan yang berada di atas sunnahnya, serta motivasi untuk meraih berbagai pahala dalam rumah tangga, diperolehnya keturunan yang shalih dan mendo’akan orang tuanya, terwujudnya keluarga yang menegakkan syari’at Islam dan lain sebagainya menjadikan seseorang yang masih lajang berkeinginan untuk segera menikah. Waah..senangnya ya sudah dipinang, senangnya proses menuju pernikahannya demikian mudah, senang ya demikian…dan demikian. Keadaan seseorang yang tidak kunjung menikah, dan pikirannya terlalu disibukkan dengan hal tersebut dikhawatirkan menjadikan hati malah jenuh dan berpaling menjadi kegalauan. Sedih ya…kok belum ada juga jodoh yang datang, sedih ya…teman-teman sebaya, bahkan yang usianya lebih muda telah merasakan indahnya pernikahan…hingga mencapai kadar galau yang berlebihan, iri terhadap orang lain, putus asa dan bersempit hati, maka sudah barang tentu hal tersebut mengancam kesehatan jiwa dan agama seseorang.
Iri terhadap orang lain merupakan suatu hal yang dilarang dalam Islam, kecuali terhadap dua hal sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الكِتَابَ، وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
“Tidak ada iri kecuali untuk dua jenis manusia: Seorang yang Allah berikan kepadanya Al Qur-an (hafal Al Qur-an), membacanya ketika shalat di waktu malam dan di waktu siang, dan yang kedua adalah seorang yang Allah berikan padanya harta yang melimpah, lalu dia membelanjakannya dalam ketaatan baik di waktu malam maupun di waktu siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iri di sini maksudnya adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar dapat semisal dengan orang lain tanpa berharap hilangnya nikmat itu dari diri orang tersebut.
Lantas bagaimana jika ghibthah itu kita tujukan pada pernikahan teman-teman kita? Maka mungkin perlu kita tinjau ulang hal apa yang membuat kita iri, jangan-jangan hanya sekedar ingin ikut-ikutan agar senasib dan sama statusnya dengan teman-teman yang telah menikah, atau iri ingin mendapat suami yang kaya seperti Fulanah X supaya hidup enak, atau yang populer supaya ikut populer, atau yang tampan, ningrat dan lain sebagainya tanpa memperhatikan bagaimana agamanya, maka hal ini tentunya tidak akan membuahkan kebaikan bagi diri kita.
Sebagaimana diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah-seorang ahli hadits, tentang dua orang saudaranya, Muhammad dan ‘Imran. Saudaranya yang bernama Muhammad ingin menikahi wanita yang tinggi martabatnya karena motivasi supaya dirinya dapat meraih martabat yang tinggi, namun justru Allah berikan kehinaan bagi dirinya. Sedangkan saudaranya yang bernama ‘Imran ingin menikahi wanita kaya karena motivasi harta wanita tersebut, maka akhirnya Allah pun menimpakan musibah padanya. Mertuanya merebut semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun untuknya.
Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
إنما يعطى الرجل على قدر نيته
“Seseorang diberi sesuai kualitas niatnya.”
Dengan meluruskan niat kita untuk menikah tentu akan membuat kita senantiasa memperhatikan rambu-rambu syari’at demi terwujudnya keridhaan Allah Ta’ala, meski Allah mentaqdirkan kita untuk tidak segera menikah.
Mungkin berbagai usaha dan sebab-sebab yang dituntunkan syari’at untuk mempermudah perjodohan telah dilakukan, namun hambatan dan kegagalan itu masih menghadang di depan mata, sehingga akhirnya hati pun merasa sempit dan berputus asa. Dalam keadaan yang demikian ada baiknya kita tengok kegagalan dari saudari-saudari kita dan renungi betapa apa yang kita alami tidak seberapa, betapa nikmat Allah yang masih bisa kita rasakan demikian besarnya dibanding kegagalan untuk segera menikah yang dianggap buruk dalam pandangan sebagian manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti kita dalam sabdanya:
انظروا إلى من أسفل منكم، ولا تنظروا إلى من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang di atas kalian, maka itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Kalaulah hingga saat ini kita masih menanti jodoh, maka kita lihat saudari-saudari kita yang jauh lebih dahulu menanti jodoh namun hingga saat ini masih belum datang juga jodoh yang dinanti. Kalaupun kita pernah gagal menjalani proses di awal perjodohan, maka ada di antara saudari kita yang gagal di ambang pintu pernikahan. Kalau ternyata kita termasuk yang merasakan pahitnya kegagalan di ambang pintu pernikahan, maka bukankah kita masih merasakan betapa Allah membukakan banyak pintu-pintu kebaikan lainnya untuk diri kita? Yakinlah bahwasanya pilihan Allah itu lebih baik dari pada pilihan kita.
Oleh karena itu janganlah sempit hati dan putus asa meliputi hari-hari kita sampai-sampai kita lupa akan kewajiban kita sebagai seorang hamba, kewajiban kita terhadap diri kita sendiri, demikian juga kewajiban kita sebagai seorang anak, atau kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan kewajiban sebagai penghuni kos misalnya. Padahal dengan menunaikan kewajiban, sekalipun dalam perkara dunia jika kita niatkan untuk meraih ridha Allah maka akan membuahkan pahala, sebagaimana perkataan sebagian ahli ilmu, “Ibadahnya orang yang lalai itu bernilai rutinitas, dan rutinitas orang yang berjaga (dari lalai) itu bernilai ibadah.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal. 13)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas demi tugas,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ( ) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7-8).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Maka jadikanlah kehidupanmu kehidupan yang penuh dengan kesungguhan, apabila engkau telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat, dan jika engkau telah selesai mengerjakan urusan akhirat, maka kerjakanlah urusan dunia. Jadilah engkau bersama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum mengerjakan tugas dengan memohon pertolongan-Nya, dan setelah mengerjakan tugas dengan mengharapkan pahala-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. III, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal.255)
Adakalanya kita dapat menepis seluruh kegalauan hati, namun terkadang juga masih ada keresahan-keresahan yang menyibukkan pikiran kita. Mungkin hal itu terjadi karena masih adanya waktu luang yang tidak kita manfaatkan. Jiwa manusia memang senantiasa dalam salah satu dari dua keadaan, bisa jadi jiwa ini disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, namun jika tidak, maka jiwa itu justru yang akan menyibukkan pemiliknya. (Nashihaty Linnisaa, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hady Al-Waadi’i, cet. I, Dar Al-Atsar, th. 1426 H. hal. 20)
Syaikh ‘Abdurrazaaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahullah memiliki resep jitu yang beliau kumpulkan dari petunjuk Allah Ta’ala dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga kondisi keimanan kita. Beliau menjelaskan sebab-sebab yang dapat meningkatkan iman di antaranya5:
  1. Mempelajari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu agama yang diambil dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bisa dengan membaca Al Qur-an dan mentadabburinya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, merenungi perjalanan hidup nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, merenungi ajaran-ajaran luhur agama ini, membaca perjalanan hidup salaful ummah, dan lain sebagainya. Namun ilmu itu sendiri bukanlah tujuan, melainkan sarana agar dapat diamalkan dalam bentuk beribadah kepada Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan lainnya.
  2. Merenungi ayat–ayat kauniyah Allah yang ada pada makhluk-Nya
  3. Bersungguh-sungguh dalam beramal shalih serta memurnikannya untuk mengharap wajah Allah semata, baik berupa amalan hati, lisan, maupun anggota badan.
(Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi, ‘Abdurrazaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, cet. II, Maktabah Dar Al-Manhaj, th. 1431 H)
Adapun sebab-sebab yang dapat mengurangi iman dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor dari dalam berupa kebodohan, lalai, berpaling dan lupa, mengerjakan maksiat dan berbuat dosa, serta nafsu yang menyeru pada keburukan. Sedangkan sebab dari luar berupa syaitan, dunia dan fitnahnya, serta teman-teman yang buruk. Semoga dengan mengetahui sebab-sebab tersebut, kita dapat lebih waspada dan berusaha mengamalkannya agar terjaga dari keterpurukan iman bagaimana pun kondisi kita. Bukankah gagal menikah masih lebih baik dibanding gagal mengabdikan diri kepada Allah?
Terakhir mari kita renungkan perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan ayat “alam nasyrah laka shadrak” (Al-Insyirah: 1),
“Manusia yang Allah lapangkan dadanya untuk menerima hukum kauni, akan engkau dapati dia ridha terhadap ketentuan dan taqdir-Nya, dan merasa tenang terhadap hal itu. Dia berkata: ‘Aku hanyalah seorang hamba, dan Allah adalah Rabb yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya, orang yang berada dalam kondisi seperti ini akan senantiasa dalam kebahagiaan, tidak sedih dan berduka, dia merasa sakit namun tidak sampai menanggung kesedihan dan duka cita, dan untuk hal yang demikian telah datang hadits shahih bahwasanya Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya itu baik, tidak ada yang mendapati keadaan seperti itu kecuali bagi seorang mukmin, apabila keburukan menimpananya, dia pun bersabar maka itu menjadi kebaikan baginya, dan apabila kebahagiaan meliputinya, dia pun bersyukur maka itu menjadi kebaikan baginya.”” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hal.247)
 Diambil dari Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Ubaidillah Nirmala Ayuningtyas
Muroja’ah: Ust. Ammi Nur Baits
***